Selasa, 03 Desember 2013

Bike to Work

Impian dari lama tuk punya sepeda baru (dulu pernah punya tapi sudah rusak) akhirnya terwujud. Pernah liat beberapa kali ada orang yang naik sepeda dan secercak tulisan di sepedanya 'Bike to Work'. Itulah yang memotivasi saya tuk membeli sepeda baru dan melanjutkan kampanye Bike to Work. Meskipun sudah lama sekali tidak naik sepeda dan sudah lupa bagaimana rasanya tapi tidak menyurutkan niat saya lho tuk bersepeda ke kantor. Pada hari ini 3 Des 2013, saya memulai goes ke kantor. Awal bersepeda agak canggung, perlahan-lahan canggung itu memudar diganti dengan pegal disekitar dengkul. Huu haa huu haa, nafas saya terengah-engah di setengah perjalanan. Agak ngeri saat menyusuri jalan raya, mobil apalagi motor berlari dengan cepat. Lebih was-was lagi kalo mau nyeberang, harus tengok ke belakang dan melambaikan tangan dahulu, maklum lah sepedanya belum ada lampu sen. Perjalanan dari rumah ke kantor kira-kira 10 km dan saya tempuh dalam waktu 45 menit. Keringat membasahi baju dan celana saya, kayaknya sih bisa di peras tuh baju. Rasanya seger banget setelah berkeringat banyak, racun-racun pada keluar dah tuh. Pengennya sih ada jalur khusus sepeda biar lebih nyaman dan tambah semangat bersepedanya. Hmmm, kayaknya sih PR banget tuh bagi yang punya kuasa. Yaa paling ga niat dalam diri tuk hidup lebih sehat di tengah kesibukan padat terus tumbuh. Lebih sehat, lebih hemat dan lebih nikmat ayo kita Bike to Work..!!!

My Bike

Jumat, 29 November 2013

Naik-naik ke Puncak Pangrango

Sebulan berlalu tanpa petualangan, hampa dan sepi jiwa ini. Dua destinasi terakhir selalu merapat ke pesisir pantai tapi kali ini saya putuskan tuk menaiki ketinggian. Berada tak begitu jauh dari Jakarta, destinasi kali ini cocok tuk merehat kepenatan sehari-hari. Gunung Pangrango namanya yang menjadi tujuan saya kali ini.
Saya bersama 11 teman backpacker berkumpul di depan terminal kp.Rambutan. Pengalaman selama ikut trip bpi, selalu saja orang-orangnya ngaret, bahkan trip kali ini lebih ngaret daripada sebelumnya. Saya yang tiba jam 20.15 wib harus menunggu kawan yang lain sampai jam 23.30 wib tuk beranjak ke Cibodas. Pekatnya malam kami lalui di dalam bis, terpejam hingga sontak terbangun saat kenek bis meneriakan kata Cibodas. Tak terasa pejalanan dalam bis selama dua jam lebih telah berakhir. Ada 3 pasukan tambahan dari Bandung sudah menunggu kami, total ada 15 orang bersama-sama menaiki ketinggian.

Tempat Istirahat di Warung Mang Idi

Tak lantas memulai pendakian, kami beristirahat di warung Mang Idi hingga sang fajar muncul. Jam 6.30 wib kami memulai pendakian, selangkah demi selangkah kami lewati jalur itu. Ada 8 pos yang harus kami lewati sebelum sampai di Kandang Badak tuk bermalam disana. Perhentian pertama tentu saja di pos satu tuk melapor ulang. Perhentian selanjutnya ada di jembatan cinta, jembatan yang kira-kira panjangnya hampir 1 km, disana saya melihat kera bergelantungan dan melompat-lompat dari dahan satu ke dahan lainnya.

Plank Taman Cibodas, Pos 1
Papan Info Sekilas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Jembatan Cinta

Jalan mendaki satu persatu terus kami lalui, sesekali dapat bonus jalan datar. Entah beberapa kali kami berhenti tuk mengatur nafas dan meneguk air. Ada jalur air panas yang harus kami lewati, menapaki batu-batuan licin dan berpegang pada tali. Saya menoleh ke kanan berupa jurang entah berapa dalamnya, disebelah kiri berupa tebing. Air panas mengalir dijalur itu dan kaki saya tersengat oleh panasnya membuat jantung tambah berdebar-debar. Di tengah pendakian, kami terbelah menjadi beberapa kelompok, ada yang di depan, di tengah, dan di belakang. Saya salah satu dari dua orang yang tergesa-gesa tuk sampai di Kandang Badak. Jika terlalu lama dan terlalu sering beristirahat membuat saya cepat lelah. Di samping saya, wanita cantik nan manis terus mengikuti dengan semangat, saking semangatnya kami meninggalkan jauh rekan-rekan yang lain.

Gunung Gede-Pangrango dari kejauhan
Petunjuk Arah dan Jarak di Pos 2

Setiap kali pendakian selalu saja terlintas dalam benak saya, kapan  sampainya?. Rasa lelah, letih, takut tak boleh mengalahkan saya tuk bisa sampai di puncak tetapi bukan tuk menaklukan alam melainkan menaklukan kekhawatiran diri saya sendiri. Karena sejatinya alam takkan bisa ditaklukkan tapi diri sendiri bisa. Jam 12.15 wib akhirnya saya tiba di Kandang Badak bersama si nona manis, disusul teman-teman yang lain. Pas sampai di Kandang Badak suasana ramai sekali seperti di pasar, kami saja kekurangan lapak tuk mendirikan tenda dan harus menunggu beberapa pendaki yang selesai ngecamp tuk mendapatkan lapak yang cukup. Bongkar lapak dan mendirikan tenda selesai kira-kira jam 3 sore, dilanjutkan dengan masak tuk mengisi tangki perut yang sudah kosong. Lalu menghangatkan tubuh di dalam tenda sampai terlelap.

Keramaian di Kandang Badak
4 Tenda kami

Belum juga sinar mentari tiba dan udara masih membuat saya menggigil, tapi kami harus bersiap-siap tuk menuju puncak Pangrango. Subuh itu jam 2, kami menuju summit berbekal cahaya headlamp dan senter tuk menerangi jalan setapak itu. Jarak pandang hanya beberapa meter saja sejauh sinar headlamp dapat menyinari. Jalan terus mendaki seringkali dihadang pohon yang melintang membuat kami harus merunduk dan meloncatinya. Setelah 4 jam melewati rintangan-rintangan  itu, akhirnya kami sampai di Puncak Pangrango. Kami tiba agak terlambat karena sunrise nya sudah beranjak mendahului kami.

Puncak Pangrango
Sunrise di Puncak Pangrango
Bersama di Puncak Pangrango

Angin yang bertiup dipuncak itu kembali mendinginkan tubuh saya dan membuat hidung saya menghasilkan larutan lendir. Selesai menikmati puncak, kami menuju Mandalawangi. Tak tahu tempat seperti apa, saya hanya mengikuti jejak kawan yang lain. Tak berapa jauh ke tempat itu dan ternyata itu adalah sebuah lahan yang banyak ditumbuhi Edelwies tapi sayang sedang tidak berbunga. "Saat sedang musim kemarau baru berbunga", kalimat seorang teman yang menjawab pertanyaan dalam benak saya. Di Mandalawangi kami menghangatkan tubuh dengan minuman hangat, melepaskan lelah sembari ngobrol ngalur ngidul. Percakapan akan pengalaman pribadi, demo buruh sampai jual beli motor menyeruak tak ada ujungnya.

Di Mandalawangi
Bersama di Mandalawangi

Sinar mentari mulai menyengat, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 wib, kami beranjak tuk kembali ke tenda di Kandang Badak. Jalur summit yang kami lewati dini hari itu terpampang jelas saat kami turun. "Ternyata begini jalur yang kita lewati tadi", ucap salah satu kawan. Perjalanan turun terpangkas 2 jam dari waktu naik. 7 orang termasuk saya sampai terlebih dahulu di tenda, sisanya 6 orang masih menikmati perjalanannya. Sejam berlalu sejak kami tiba tapi kemunculan 6 orang kawan belum terlihat. Akhirnya mereka tiba dua jam kemudian, usut punya usut ternyata mereka nyasar. Mereka mengikuti jalur sempit setapak yang terlihat ada jejak-jejak kaki, sebenarnya saya pun hampir menelusuri jalur itu. Naluri memberontak dan tak ada pita di beberapa pohon di jalur itu, sehingga saya berbelok keluar dari jalur itu sampai terlihat ada pita di pohon dan mengikuti jalur. Bagusnya 6 orang kawan itu masih selamat bahkan ada cerita tambahan bagi mereka masing-masing.

Ternyata Seperti Ini Jalur Saat ke Puncak Pangrango

Selesai makan, kami merapikan barang dan membongkar tenda. Jam 4 sore, kami meninggalkan Kandang Badak dan turun menuju Cibodas. Matahari mulai tenggelam dan sinarnya perlahan-lahan sirna, tak nampak lagi menembus pepohonan tinggi yang berlumut yang menandakan gunung itu tidak aktif lagi. Langkah kaki bergerak cepat dan semakin cepat agar bisa sampai di bawah sebelum gelap. Terlalu cepat melangkah membuat salah satu teman yang wanita terjatuh bahkan hingga dua kali. Kecepatan kaki pun diperlambat takutnya jatuh tuk ketiga kali. Ternyata setelah ditanya-tanya, dia punya darah rendah sehingga konsentrasi cepat menurun dan mengalami pusing-pusing. Salah satu teman wanita yang lain -si nona cantik nan manis yang penuh semangat itu- membantu membawakan tas teman yang terjatuh itu.
Gelapnya malam tak bisa dilewati begitu saja dan kami masih harus menuruni jalan. Kira-kira hampir jam 8 malam kami tiba di pos 1 tuk melapor bahwa pendakian kami telah usai. Dari pos 1 menuju Cibodas tuk mencari makan, kemudian bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing.

Kalau dipikir-pikir kenapa mau capek-capek naik gunung trus turun lagi?
Bukannya lebih enak meringkuk di tempat tidur?
Atau nonton tv sambil nyemil?

Hmmm, jawabanya ada pada diri kita masing-masing!.

SAYONARA...

Minggu, 10 November 2013

Desa itu Bernama Desa Sawarna

Kota yang saya tinggali adalah tempat yang sangat padat penduduk dan bangunan, riuh di pagi hari, ricuh di siang hari, lalu semraut di sore menjelang malam. Tak ayal kegiatan sehari-hari di kota Jakarta membuat saya ingin melepas penat dari kesibukan itu.
Hari Jumat malam, selepas bermain futsal bersama teman kantor, saya berkumpul di kost-an teman tuk menuju suatu desa yang disebut Desa Sawarna. Roadtrip kami lakukan beranggotakan 6 orang, semuanya para lelaki petualang. 5 1/2 jam lamanya menuju desa itu, tiba jam 4.30 wib. Andrew Homestay adalah tempat yang sudah kami pesan tuk singgah, tempatnya tepat berada di dekat salah satu ikon Desa Sawarna yaitu jembatan cinta.

Pengunjung Bergantian Melewati Jembatan Cinta

 Istirahat sejenak tuk meluruskan badan setelah sekian lama duduk di mobil. Setelah cukup beristirahat, kami berjalan menuju Goa Lalay, saya kira tempat itu tak jauh tapi ternyata cukup membuat otot betis saya mengeras, fiiuhh.

Plank Petunjuk Jalan

Sampai di spot, ada dua pilihan menyusuri Goa Lalay, yaitu dengan jarak 400 m dan jarak 1,5 km. Kami menjatuhkan pilihan pada pilihan pertama, karena waktu yang terbatas dan ingin menelusuri tempat yang lain juga. Di dalam gua itu, stalaktit tumbuh dengan subur sedangkan stalakmit tak terlihat karena ada aliran air yang cukup deras sehingga membuat kami pelan-pelan menyusurinya. 

Di dalam Goa Lalay

Baguslah tidak ada fandalisme (aksi coret menyoret) di dalam goa itu seperti yang saya lihat di beberapa goa lainnya, biasanya sih dilakukan oleh para ABG ababil yang sedang jatuh cinta ataupun putus cinta. Tak berapa lama kami menyusuri goa itu, perjalanan kaki dilanjutkan menuju Legon Pari. Nah, dari Goa Lalay menuju Legon Pari harus kami lalui bentangan sawah terlebih dahulu. Sawah terhampar luas di depan mata, saat itu sawah sedang dibajak, ada yang menggunakan mesin bajak dan ada pula yang masih menggunakan kerbau. Para bapak membajak sawah, sedangkan para ibu menanam bibit padinya, ditemani anak-anak yang bermain dipinggiran sawah. Terpajang kealamiahan yang masih terjaga, sekejap memenuhi hasrat mata saya akan hal-hal yang tak pernah lagi saya lihat di kota-kota besar.

Dari Goa Lalay Menuju Legon Pari

Setelah sawah kami lewati, bukit yang banyak ditumbuhi ilalang harus kami lalui dan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi tak luput dari jejak kaki kami.
Di Legon Pari, sekelompok anak muda sedang bermain di pinggir pantai, membasai diri dengan air laut semenit kemudian saling melempar pasir, keceriaan yang jarang didapat. Saya hanya mengamati mereka sambil menikmati air kelapa muda yang menyegarkan tenggorokan. 

Legon Pari
Menikmati Indahnya Legon Pari dengan Kesegaran Kelapa Muda

Matarahi tepat berada di atas kepala kami, lalu saya dan teman-teman beranjak dari Legon Pari menuju homestay tuk makan siang. Teriknya sang surya sangat terasa di ubun-ubun dan menelusuk ke perut tapi tak menyurutkan keceriaan kami yang always on olways happy. Salah satu teman saya-mirip seperti Pepi- seringkali menyebut nama kecengannya, padahal klo ada orangnya mah tak bisa berkutik apa-apa alias malu setengah hidup. Tak luput selama diperjalanan teman saya itu menjadi candaan selama siang tengah bolong itu. Akhirnya sampai juga di tempat makan, semenit kemudian hidangan yang  kami pesan pindah kedalam perut.
Selesai makan siang, kami langsung menuju pantai Pulo Manuk, karena kaki masih pegal, kamipun memutuskan untuk naik mobil. Banyak perahu nelayan tidak melaut, anak-anak kecil dengan asiknya bermain air di sungai kecil dekat pantai itu.

Perahu Nelayan Bersandar di Pantai Pulo Manuk
Anak-anak kecil Bermain di Sungai Kecil

Sore hari kami habiskan tuk menyusuri pesisir Pantai dan mengabadikan kokohnya karang Tanjung Layar lewat kamera. Sayang seribu sayang sunset saat itu tak terlihat karna mendung dan seketika hujan memastikan sunset takkan terlihat, too bad.
Kamipun terjebak dalam derasnya hujan, untungnya banyak warung yang menyediakan gubuk tuk kami singgah menunggu hujan reda. Saya mengamati bahwa banyak warung yang mulai merambah, ditandai dengan bangunan yang belum selesai seutuhnya ataupun baru mulai dibangun.

Keramaraian Sore Hari di Pantai
Banyak Gubuk/Warung di Pinggir Pantai

Wah waah wah dalam benak terbesit bakal ada gubuk-gubuk mesum nantinya, mudah-mudahan saja benak saya keliru. Hampir sejam kami menunggu disalah satu warung, walapun rintik masih turun kami bergegas meninggalkan Tanjung Layar. Tak berapa jauh meninggalkan gubuk, hujan kembali menghadang sehingga kami berlindung di warung lainnya. Deburan ombak berkali-kali terdengar, diselingi nyanyian gemuruh. Gelapnya malam dihiasi kilatan petir dan pertanyaan Pepi "film mana yang lebih seram, Conjuring atau Insidious?" menambah malam itu semakin gelap.
Tak mau berlama-lama lagi menunggu hujan reda, kami setengah berlari melewati gelapnya pesisir pantai dan singgah lagi di salah satu warung. Tergiur oleh spanduk yang bertuliskan ikan bakar membuat kami berhenti di warung itu, perut memang sudah keroncongan. Memang mantap menyantap ikan segar yang di bakar selagi cuaca dingin. Selepas makan, akhirnya kami benar-benar kembali ke homestay tuk mebersihkan badan yang bercampur keringat dan air hujan.
Sisa malam kami habiskan dengan bermain PS, hanya saya dan Pepi yang tahan bermain sampai tengah malam sebelum akhirnya merayap ke kasur.
Pagi harinya udara terasa dingin, saya memakai baju hangat tuk menahan udara saat itu. Hanya saya dan seorang teman yang berniat bangun pagi-pagi tuk mengejar sunrise, keempat teman lainnya memilih bertahan di kasur. Tak dapat sunset di hari sebelumnya tapi untunglah sunrise nya ciamik di balik Tanjung Layar, tak percuma perjuangan bangun pagi-pagi.

Sunrise di Tanjung Layar

Melihat pasangan yang bergandengan tangan membuat perasaan bercampur aduk (senang dan sebel). Senang karena ada keromatisan di dalamnya, sebel karena saya bukan salah satu dari pasangan itu... Puas mengambil gambar, kembali ke homestay dan menemukan keempat teman yang masih enak berbaring di kasur. "Kirain sudah bergantian mandi, eh ternyata masih ngorok" celoteh saya kepada mereka. Silih berganti memasuki kamar mandi sambil ritual pagi. Kira-kira pukul 10 pagi, kami berpamitan kepada om Andrew sang pemilik homestay. Satu setengah jam tiba di pelelangn ikan di Pelabuhan Ratu, memasuki rumah makan bermaksud mengisi kekosongan perut. Ikan Kerapu dan Cumi adalah menu yang kami pesan siang itu. Hidangan ludes dalam sekejap, maklum kami pejantan yang sedang kelaparan. Perut kenyang siap tuk melanjutkan perjalanan pulang. Bukit kami lewati dan pemandangan saat perjalanan pulang lebih menakjubkan daripada saat datang, karna kami melewatinya siang hari. Terbentang pesisir pantai Pelabuhan Ratu dari ketinggian beserta dengan tebing yang menjulang tinggi. Dipertengahan jalan macet tak terhindarkan karena ada jembatan yang sedang direnovasi, teman yang bisa menyetir mobil hanya satu orang, allhasil dialah yang paling pusing menghadapi macet itu. Tak terasa waktu itu cepat berlalu, sejenak menepi dari keramaian kota dan melepas penat. Kembali lagi harus berkutat dengan ramainya ibukota, entah sampai berapa lama lagi hingga destinasi petualangan kembali dimulai. Uppss hampir lupa, trip ke Desa Sawarna kala itu merupakan trip para jomblo, biar jomblo yang penting heppy...

Selasa, 29 Oktober 2013

Snorkeling di sini, Snorkeling di sana - Episode TNUK

Rasa kantuk masih menghantui saya setelah perjalanan kurang lebih 8 jam dari Jakarta menuju Desa Taman Jaya, Banten. Sang surya mulai menyingsing dan menyengat kulit saya seakan ingin mengusir rasa kantuk. Yup, pagi itu kira-kira pukul 9 pagi, saya dan teman-teman menumpangi perahu yang di nahkodai oleh Pak Isnain. Menuju TNUK dengan perahu itu, singgah di sekitar Pulau Badul tuk snorkeling, di sinilah spot pertama kami. Buurrr, jangkar di jatuhkan dan tak berapa lama tubuh saya pun mengikuti jejak jangkar itu masuk ke dalam air. Airnya tak terlalu jernih di spot itu, ikannya tak terlalu banyak berbanding lurus dengan karang-karangnya. Kurang 1 jam, saya menyudahi snorkeling di sana dan kami lanjut menuju Pulau Peucang.

Hari ke 2 di TNUK, spot snorkeling yang ke dua itu ada di Cikembang. Kali ini  spot nya lebih bagus dari yang pertama, karangnya banyak dan tentu saja ikannya pun banyak, ada ikan badut yang saya lihat di sana. Tentu saja arusnya lumayan kencang. Kira-kira satu setengah jam lamanya kami snorkeling.
Hujan mewarnai snorkeling saat itu, langsung saja saya sigap kembali ke perahu. Menuju spot lain dan masih hujan, saya merasa kedinginan begitupun dengan teman-teman yang lain. Hmmm, berpikir 2 kali tuk snorkeling di sana karena hujan plus arus yang kencang, terlihat saat salah seorang teman yang bersusah payah renangnya karena terbawa arus. Cihandarusa nama spot itu, saya hanya terdiam di kapal karena rasa dingin dan lapar. Tapi begitu teman yang snorkeling mengatakan bahwa spotnya bagus maka rasa penasaran saya pun bergejolak. Langsung saja saya nyebur, malah terasa lebih hangat di dalam air daripada di atas perahu. Arusnya memang kuat, saya pun harus berenang lebih kuat lagi tuk menjaga agar tubuh tidak terbawa arus. Wooww, ternyata alam bawah lautnya di spot kali itu top markotop, lebih bagus dari dua spot sebelumnya. Ikan badut buaanyakk, anemonnya pun buanyaakk, ikan warna-warni nya buanyaakk, terlebih hanya saya yang lihat lobster disana, teman-teman yang lain tidak lihat (beruntungnya saya).

Ikan Badut Bersembunyi di Anemon

Teman yang Sedang Asik Snorkeling di Cihandarusa

Ada sebagian teman yang belum juga snorkeling saat saya kembali ke perahu, apalagi kalo bukan rasa dingin yang menyebabkannya. Saya mensugesti mereka dengan berkata "sayang banget kalo lu ga nyebur, ini mengingatkan gw sama wakatobi". Sepertinya sugesti saya berhasil karena teman yang belum nyebur pun akhirnya terjun ke air. Ya walaupun wakatobi jauh lebih bagus dalam hati saya, setidaknya spot ini sayang tuk dilewatkan. 2 jam lamanya kami berkutat di Cihandarusa, dari awalnya tidak ingin nyebur karena kedinginan, ehh malah keasyikan saking bagus tuh spotnya.
Setelah itu, kami menuju dermaga Pulau Peucang dan snorkeling di sisi timur pulau itu. Sebagian teman-teman ada yang kembali ke penginapan, sebagian ada yang melanjutkan snorkeling termasuk saya. Spot yang satu ini, ikannya sih banyak tapi berkelompok-kelompok atau genk-genkan. Ada genk ikan warna putih-hitam, ada genk ikan warna kuning, dan genk ikan warna lain, pokoknya ikannya bergerombol dengan ikan yang sejenisnya (hari gini masih genk-genk an, apa kata dunia..).
Lelah sudah rasanya hari kedua, tiga kali snorkeling di tempat yang berbeda tapi tak bisa dipungkiri bahwa saya merasa puas hari itu.

Hari ketiga, saya dan teman-teman kembali snorkeling lagi. Spot pertama hari itu saya tidak ingat namanya alias lupa karena tidak terlalu bagus spotnya. Hanya saya dan 4 kawan lainnya yang nyebur saat itu, karangnya besar tapi bukan karang hidup dan berlubang-lubang. Saya pun lihat ada jaring yang nyangkut di karang itu dan ada pula jangkar yang tertinggal.
Spot berikutnya di hari itu ada di Cimayang, nah kali itu spotny lumayan bagus. Karangnya hidup, ikannya banyak tapi tentu saja arus nya kuat, sampai-sampai saya harus menarik teman melawan arus yang kekanan kekiri silih berganti. Memang dimana arusnya kuat, disitulah spot yang menarik. Tak kurang dari 1 jam, kami menghabiskan waktu snorkeling di sana.

Saya coba mengurutkan posisi teratas sampai terendah spot snorkeling selama di TNUK,sebagai berikut :
1. Cihandarusa,,, banyak ikan badut dan ikan-ikan lainnya, terumbu karangnya hidup, visibilitas bagus plus arus yang kuat.
2. Cimayang,, terumbu karang hidup tapi ada juga yang mati, ikan banyak, visibilitas lumayan, plus arus kuat.
3. Cikembang, walaupun visibilitasnya tidak terlalu bagus tapi ikannya lumayan banyak, ada ikan badutnya pula, karangnya hidup, arus tidak terlalu kuat.
4. Sisi timur dermaga Pulau Peucang, walaupun karangnya besar-besar dan sebagian bukan karang hidup tapi ikannya banyak dan berkelompok, arusnya sedang.
5. Sekitar Pulau Badul, visibilitas jelek tapi terumbu karangnya lumayan banyak, ikan sedikit, arus sedang.
6. Spot yang lupa namanya, karnanya besar-besar kebanyakan bukan karang hidup, ikan sedikit, arus kecil.

Tiap spot snorkeling di TNUK memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tentu saja hal itu hanya bisa kita nilai jika sudah mencobanya sendiri satu persatu. Walupun cape snorkeling dibeberapa spot, yang penting hati senang.. See ya di next trip berikutnya...










Selasa, 22 Oktober 2013

Ke Ujung Barat Pulau Jawa - Taman Nasional Ujung Kulon

Malam semakin menua tak lantas menyurutkan niat para penumpang yang berdatangan di terminal itu. Maklum lah liburan panjang dan "hari kejepit" biasa dimanfaatkan tuk pulang kampung ataupun jalan-jalan. Seperti halnya saya yang memanfaatkan waktu libur tuk jalan-jalan setelah dua minggu di site. Destinasi kali ini adalah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang berada di bagian paling barat pulau Jawa, Banten. Saya dan teman-teman backpacker ngumpul di termimal Kp.Rambutan. Pukul 10.30 malam kami berangkat setelah menunggu salah satu teman yang "ngaret" dua jam an. Kami melompat ke dalam bis tujuan Serang, kira-kira perjalanan ditempuh selama 2 jam. Sampai di terminal Pakupatan Serang, ternyata ada 5 orang lagi teman backpacker yang sudah menunggu di sana sehingga total ada 20 orang yang akan menuju ke TNUK. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki mobil Elf, kapasitas bangku yang hanya ada 16 dimasuki 20 orang alhasil kami duduk seperti ikan pepes bahkan ada yang duduk diatas mobil elf.

Atas : mobil berhenti di depan alfamart, seberang indomart
Bawah : duduk berdempetan di mobil elf

Mula-mula satu dua lubang jalan tak terlalu terasa di bokong saya tapi lama kelamaan sakitnya tak tertahankan lagi karena ratusan lubang yang harus dicicipi satu persatu. Setelah 6 jam lamanya menaiki mobil elf, kami tiba di Taman Jaya.

Dermaga Taman Jaya

Di dermaga Taman Jaya sudah menunggu perahu yang akan menemani dan mengantar kami selama beberapa hari di TNUK. Pak Isnain adalah Captain kapal sekaligus merangkap guide tuk trekking di sana. Untungnya sang ombak saat itu masih bersahabat sehingga perjalanan laut lebih mengasikkan dari pada di mobil elf tadi. "Kira-kira berapa lama Capt perjalanannya?", tanya saya. "Sekitar 1 jam an", sahut beliau.

Bebraris Duduk di Perahu

Sebelum sampai di Pulau Peucang, ternyata kami berhenti sejenak tuk snorkeling di dekat Pulau Badul. Tak perlu berpikir panjang tuk hal yang satu ini, saya pun langsung menceburkan diri ke laut, assiikkk.. Hampir 1 jam bersnorkeling ria, kami melanjutkan pelayaran ke Pulau Peucang. Pantai dengan pasir putih yang halus dan garis pantai yang panjang menghiasi dermaga pulau itu. Sekawanan monyet menyambut kedatangan kami, disusul rusa dan babi saat tiba di pulau itu. Wow, suasana alam yang menakjubkan dengan hidup berdampingan hewan-hewan yang dibiarkan bebas berkeliaran.

Salah satu Kawasan TNUK, Pulau Peucang
Pengunjung yang Mencoba Mengakrabkan Diri dengan Rusa
Si Rusa Bersama Kawanan Babi

Memang di Pulau Peucang adalah salah satu pulau yang termasuk kawasan TNUK sehingga hewan-hewan dibiarkan bebas berkeliaran dan tidak boleh di bunuh. Di pulau itu juga kami menginap selama 2 malam. Saat trekking ke karang copong, berharap bisa bertemu si badak (hewan yang ingin saya lihat secara langsung) tapi tengak-tengok ke kanan dan kiri tidak muncul juga batang cula nya. Kata Pak Isnain sih memang di Pulau Peucang tidak ada badak nya, hanya ada di Pulau Jawa (di sekitar Pulau Handeleum). Yang saya lihat saat trekking saat itu hanya rusa dan rusa lagi.

Sunset di Karang Copong

Sunset di karang copong pun tak begitu indah karena ada awan mendung yang menutupinya. Terlalu lelah sehabis trekking (2 jam bolak balik) dan perjalanan sepanjang hari, saya dan teman-teman langsung tergeletak dikamar penginapan sampai pagi menjelang.



Sunrise pun Tertutup Awan Mendung

Bangun pagi-pagi, sunrise pun tak ciamik seakan malu menunjukkan keindahannya. Sepanjang hari, saya dan teman-temans bersenorkeling ria dari satu spot pindah ke spot yang lain. Hampir saja saya melewatkan spot terbaik di sana, hujan membuat saya males tuk nyebur ke laut selain itu arus nya kuat terlihat dari salah satu teman yang kepayahan berenangnya. Tapi setelah di bilang bahwa karang nya bagus dan banyak ikannya, saya penasaran juga tuk melihatnya.. Burrr, nyata nya memang bagus spot yang satu itu dan paling bagus di antara spot-spot yang lain. Saya jadi teringat buku yang pernah saya baca bahwa arus yang kuat biasanya pemandangan bawah lautnya bagus dan sepadan dengan perjuangannya yang harus berenang ekstra keras. "Sayang banget klo lu ga nyebur, ini mengingatkan gw sama wakatobi", begitu lah sugesti saya ke teman yang awalnya belum nyebur di sana meskipun sebenarnya wakatobi masih jauh lebih bagus... Untungnya mereka pun tersugesti juga bahkan ada satu teman yang belum nyebur dari hari pertama karena takut dan ga bisa renang, akhirnya memberanikan diri juga tuk nyebur.. Cape snorkeling sepanjang hari tapi senang rasanya karena sudah lama ga nyebur ke laut. Sore hari waktunya trekking ke Pulau Handeleum, sekitar 15 menit by perahu dari Pulau Peucang ke sana. Di sini kesetikawanan saya terasa berkurang, karna apa? Karna ada sebagian teman yang tidak ikut trekking alias ditinggalin karna terlalu lama stay di penginapan dan tidak datang ke perahu. Di satu sisi orang yang menunggu kelamaan kesel, di sisi yang lain setiap orang sudah bayar jumlah yang sama masa ditinggalin, yang pasti kesel juga. Ternyata saat trekking di Pulau Handeluem yang katanya bisa liat banteng item malah ga muncul-muncul tuh si doi, yang ada cuma sapi bertanduk dan seekor burung merak yang dengan cepat kabur mungkin sadar akan kedatangan manusia. Yah begitu doank 50+50 = cepe dehh..

Perahu Bersandar di Pulau Handeleum

Perahu berselancar pelan menuju Pulau Peucang beratapkan sinar orange yang sebagian tertutup awan dan burung-burung lalu lalang menghiasi sore itu. Sejenak ku duduk terdiam di ujung perahu hanya untuk menikmati senja hari itu.
Malam hari nya tidak cepat berlalu seperti hari kemarin, kami berkumpul dan bermain kartu, ada yang main gaplek dan ada juga yang main tepokan. Muka penuh dengan coretan merah karena yang kalah harus dicoret pakai lipstik (andaikan dicoret pakai bibir cewe-cewe sih asik-asik aja tuh,hehehe).


Termenung Sebelum Meninggalkan Pulau Peucang

Hari terakhir petualang di TNUK, tak lepas dari snorkeling ria (2 spot) dan canoying. Dalam benak saya canoying itu perahu yang bagian depannya lancip dan untuk satu orang, sehingga orang itu harus mendayungnya sendiri. Eh ternyata bukan seperti itu, malah seperti sampan yang bisa dimuati lebih dari 5 orang dan dayung bersama-sama, hmmm kalo itu mah bukan canoying namanya tapi sampan-ing.

Sampan-ing di Sungai Cigenter

Berburu badak dengan sampan-ing, sepertinya hal yang mustahil bahkan hanya tuk melihat cula nya saja sepertinya tidak akan ketemu. Hewan-hewanya pun tidak banyak yang terlihat, hanya burung kecil berkepala biru-sejenis burung pipit- yang saya lihat. Allhasil bukannya berburu foto badak tapi malah berburu foto narcis selama sampan-ing. Bagian yang lucu, ada teman yang saking semangatnya mendayung di sampan yang saya naikki, mendayung ke kanan lalu kiri dengan suara lantang. Tanpa dia sadari hanya dia yang mendayung dan saya serta teman yang duduk di belakangnya hanya bersorak kanan kiri saja. Sampannya pun ternyata bocor sehingga air yang masuk harus digayung dari dalamnya. Sampan-ing hanya berlangsung 1 jam bolak balik. Setelah itu kami kembali ke perahu dan menuju desa Sumur. Ombak seolah ingin menunjukkan kegagahannya dan membuat perahu yang kami tumpangi naik turun seperti kora-kora selama 2 jam. Syukurlah sampai juga di desa Sumur, kemundian menambal rasa lapar dan membuat badan bersih kembali. Menaiki mobil ekl ke terminal Serang, kali ini saya mencoba duduk di atas mobil elf -pertama kali naik di atap mobil- seru juga karena rasa waswas ingin jatuh dan tidak perlu berdempet-dempetan di dalam mobil plus bisa liat kembang api saat itu. Yuhhuu sampai di terminal Serang kira-kira setengah 12 malam, 1 jam an kemudian ada bus yang menuju Jakarta dan menuju rumah masing-masing... Disinilah akhir petualangan ke TNUK...


















Minggu, 08 September 2013

Bukit Moko Yang Indah

Mata masih ingin terpejam, selimutpun tak ingin lepas menutupi tubuh ini, tapi saya  harus segera beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu. Tujuan saya dan teman-teman tuk menyambangin Bukit Moko dimulai pukul 3 dini hari.
Meskipun mata masih terasa berat dan tubuh masih lelah karena aktifitas hari sebelumnya tapi tak menyurutkan niat kami tuk tetap pergi ke Bukit Moko yang katanya bisa melihat keindahan lampu-lampu kota Bandung dari ketinggian, weww!!. Letak Bukit Moko berada di daerah Dago Pakar dengan julukan bukit di atas awan karena merupakan dataran tertinggi di Bandung. Petualangan hari itu menggunakan motor, biar cepat dan irit ongkos tentunya. 3 motor berpasangan dan 1 motor yang single merupakan kawanan petualangan itu. Memulai start dari terminal Lewipanjang, melawan dinginnya cuaca kota Bandung, untungnya saya memboncengi seorang wanita mungkin bisa lebih hangat, *ngarep.com.
Awal perjalanan berjalan mulus, kira-kira 30 menit perjalanan kami menghadapi trek yang menanjak dan berliuk-liuk, awalnya saya merasa khawatir karena 3 motor yang kami sewa adalah motor matic bukannya manual, hanya 1 motor saja yang manual, takut-takut motor matic tidak bisa nanjak nantinya. Hampir saja sampai di bukit Moko, salah satu motor ban nya bocorrrr, hufft , jam masih menunjukkan hampir pukul 4 pagi, mana ada bengkel tambal ban buka jam segitu, apes banget lahh. Untungnya ada salah satu ibu warga sana sedang mempersiapkan masakan tuk jajanan warungnya, akhirnya dengan tampang melas kami membujuk ibu itu agar bisa menitipkan motor yang bocor itu disana, dan berhasil, hip hip horee..

Di Bukit Moko bisa makan pisang goreng keju n main kartu

Ok, lanjut perjalanan yang memang tak berapa jauh lagi. Ternyata tak semudah itu sampai di Bukit Moko, ada tanjakan terakhir yang kemiringannya sekitar 60 derajat plus jalannya yang rusak dan berbatu. Motor matic yang awalnya saya ragukan ternyata bisa juga melewati rintangan itu, tapi tanpa boncenger alias penumpang motor yang disuruh turun dan jalan kaki terlebih dahulu, (cape nih yee jalan kaki, hehehe).


Area yang luas tuk menikmati pemandangan

Finally, saya dkk tiba di bukit itu, dan "WOW" itulah kesan pertama saya melihat pemandangan dari sana, terhampar lampu-lampu kota Bandung yang belum redup dengan bukit-bukit disekelilingnya seperti melihat bintang dengan posisi terbalik, melihat kebawah bukan keatas,,,,,cantikknya.....
Yang cantiknya lagi, ada warung yang menyajikan pisang goreng dengan taburan keju, dingin-dingin begitu enaknya memang makan pisang goreng hangat, huuaahhh tambah mantap.


Kebun dan Bukit di Kejauhan


Biasanya sih memang jika perjalanan yang ditempuh sulit dan banyak tantangan sebanding dengan apa yang didapat nantinya dan tentunya lebih berharga...Just try it...!!!

See yaa..




Selasa, 03 September 2013

Kedamaian Kampung Naga - Tasik

Matahari belum menampakkan wujudnya, udaranya pun masih terasa dingin menembus jaket hingga kulit saya, berusaha menahan rasa dingin sesampainya di sana.
Pukul 4 pagi saya dan teman-teman tiba di Tasik setelah menempuh perjalanan lebih kurang 5 jam dari terminal kampung rambutan dengan bis Karunia Bakti. Sesampainnya di sana, kami pun singgah di sebuah mesjid hingga fajar datang tuk mengunjungi perkampungan yang masih tradisional, yaitu Kampung Naga.


Pusaka Tugu Kujang


Kira-kira pukul 6 pagi, kami berlima memasuki gapura Kampung Naga, terlihat tugu kujang dari kejauhan. Yup, itulah simbol dari perkampungan tersebut, kujang itu sendiri terbuat dari leburan senjata pusaka yang dimiliki 900 kerajaan yang ada di nusantara, ditempa oleh 40 empu selama 40 hari lebih dan diresmikan pada 16 April 2009. Begitulah keterangan yang disampaikan oleh mang Tatang yang memperkenalkan diri kepada kami saat melihat tugu kujang itu. Mang Tatang sendiri adalah orang asli Kampung Naga yang berbaik hati menjadi guide kami selama menyusuri perkampungan itu, jadilah kami mendapat informasi dari orang yang tepat, cihuuyy..
Mang Tatang menjelaskan banyak hal seputar Kampung Naga, bahwasanya semua yang ada di perkampungan itu mempunyai tujuan dan maksudnya masing-masing.


Adik-adik Pramuka

Sambil menyusuri satu persatu anak tangga, kami berpapasan dengan adik-adik yang berpakaian pramuka dari perkampungan tersebut, terlihat malu dari wajah mereka yang hanya melemparkan senyum simpul lalu pergi begitu saja.
Di salah satu spot anak tangga itu, terlihat sawah yang bersusun rapi dan bertingkat-tingkat serta perumahan yang terlihat seperti gubuk-gubuk dari kejauhan. Mang Tatang menjelaskan bahwa sistem tanam padi disana dilakukan dengan sistem JanLi, yaitu ditanam pada bulan Januari dan Juli, mereka tidak menggunkan pembasmi hama karena penanaman  dilakukan serentak begitu juga dengan masa panennya sehingga hama tidak berkembang biak dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Ada sebuah hutan larangan di kampung itu, dimana siapapun tidak boleh masuk ke dalam sana. Di sebut larangan karena mereka ingin menjaga hutan tersebut agar tidak rusak, agar ada lahan tuk penyerapan air sehingga mereka hidup bersama alam bukannya merusak alam seperti dikota-kota besar.


Sawah Tanpa Pestisida


Ada 113 bangunan di perkampungan itu, 3 diantaranya bangunan umum dan sisanya adalah rumah. Ketika memasuki rumah di sana, masih serba tradisional dan menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Atap rumahnya terbuat dari ijuk, dindingnya terbuat dari bambu-bambu dan pondasi nya hanya dari batu yang ditancapkan lebih kurang 15 cm ke dalam tanah tapi hebatnya saat terjadi gempa di Tasik rumah-rumah disana tidak ada yang roboh, wow. Kami memasuki rumah mang Tatang dan merasakan sejuk didalamnya, hal ini terjadi karena saat panas matahari, ijuk menghambat panas itu sehingga membuat udara di dalam rumah menjadi sejuk dan sebaliknya jika hujan, ijuk bisa menahan dingin udara di luar dan mempertahankan kondisi di dalam rumah tetap sejuk, dan lebih hebatnya lagi tiap rumah itu bisa bertahan hingga 40 tahun lamanya, hmmm super duper..
Oh ya istri mang Tatang sedang masak saat itu, dan tetap menggunakan bahan dari alam yaitu kayu bakar (hari gini masih pakai kayu bakar, hebat bukan?) serta tungkunya dibuat dari tanah liat. Mereka bukanya tidak menerima moderinasi jaman sekarang tetapi memang mau mempertahankan kebudayaan dan kesederhanaannya, Salutt!! Tiap rumah selalu berhadapan dengan rumah yang lain dan hanya terdiri dari 3 ruang yaitu dapur, ruang istirahat atau kamar dan ruang tamu. Tiap rumah tidak memiliki pintu belakang dan tidak memiliki kamar mandi sehingga semua aktifitas seperti mencuci, mandi, BAB atau yang berhubungan dengan kamar mandi dilakukan diluar rumah. Sempat terpikirkan oleh saya apabila malam-malam kebelet tuk BAB dan hujan pula, mau ga mau harus bawa payung plus obor karena belum ada listrik, betapa susahnya BAB saja, huffftt...



Rumah yang Saling Berhadapan


Mang Tatang mengajak kami tuk berkeliling melihat rumah-rumah itu, dan beliau bertanya kepada kami apa tanda yang ada di atap rumah? Itu tanda V dan kalian tahu apa artinya, beliau bertanya lagi? Artinya peace/damai, setiap agama ataupun adat istiadat diciptakan untuk membuat kedamaian tergantung dari orang yang menjalankannya, dan seketika saya tertegun saat mendengarnya karena memang saat itu saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri terlebih masalah-masalah yang baru saja saya alami dan hari itu saya belajar tentang kedamaian.


 Tanda V (Peace)


Puas berkeliling, mang Tatang mengajak kami tuk melihat kesenian setempat, adalah mang Encup yang sedang membuat alat musik karinding, alat musik yang cukup aneh karena untuk menghasilkan bunyi harus ditempelkan dibibir sambil digetarkan. Karena pingin coba maka saya pun menempelkan bibir saya ke karinding, dan bunyi yang saya hasilkan tak terdengar alias tidak berbunyi, hehehe..
Puas berkeliling Kampung Naga, kami menikmati kesejukan balai desa sambil merobohkan badan tuk sesaat. Matahari menyirami kampung itu terik sekali dan kumandang cacing dari perut kami mulai bermunculan, maka tiba waktu tuk kami beranjak dari kunjungan di perkampungan itu serta mencari makan siang (lafarrrr, maklum saya sendiri tidak sarapan). Uppss sebelum itu ada satu tugas penting yaitu menghitung anak tangga, jreng,,jreng.. Berbeda ketika datang, anak tangga yang kami susuri jalanya menurun, maka tuk pulang adalah sebaliknya, hmmm siapa takut? Mang Tatang memberitahukan bahwa anak tangga berjumlah 439. Satu persatu anak tangga kami hitung, awalnya mudah, ditengah-tengah mulai terengah-engah dan satu persatu teman saya sudah melupakan hitungannya, lalu pada akhirnya entah kenapa jumlah anak tangga yang saya hitung adalah 442, yah lebih 3 (darimana tuh kelebihan nya?) Wah karena sudah ngos-ngosan saya tidak mau menghitung ulang lagi apalagi perut sudah keroncongan. Perpisahan kami dengan Mang Tatang pun tak terelakan lagi dan kami beranjak pergi. Yupp beliau sudah mengajarkan banyak hal dari kesederhanaan sampai kedamaian Kampung Naga.

"Thanks my Lord, You teach me about peace....."

See ya...,,!!!


Mendaki Gunung Papandayan, 2665 mdpl

Perjalanan diikuti oleh para backpacker mania, kumpul di depan gerbang kampung rambutan. Ini perjalanan ke 3 saya bersama para backpacker mania dan yang ke-2 tuk muncak..
Dari kp.rambutan kami naik bus jurusan garut dengan ongkos 45 ribu aj dan lama perjalanan lebih kurang 4 jam an (11 malam - 3.30 pagi). Karena muncak kali ini dilakukan pada bulan puasa maka kami singgah sejenak di sebuah mesjid tuk sahur dan sholat bagi kawan-kawan yang menjalankan ibadah puasa. Nah setelah selesai sahur dan sholat, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil pick up, ada tiga mobil pick up yang di pesan, tiap mobil pick diisi 13 orang bahkan ada yang 15 orang disalah satu pick up.


Kelebihan muatan, ga bisa nanjak deh mobilnya


Nah perjalanan di mobil pick up in yang menantang, bukan hanya jalurnya saja yang berliku-liku dan menanjak tapi juga kondisi jalannya yang rusak dan banyak lubang dijalan, alhasil kami haris berpegangan erat satu sama lain karena goncangan mobil saat menghadapi lubang jalan dan beberapa kali harus turun dari mobil karena mobil tak dapat mendaki, huuft... Belum lagi ada kupluk teman yang jatuh (cewe loh) sehingga salah satu cowo yang baik hati turun dari mobil dan berlari-lari tuk mengambilnya dan dia lupa bahwa sedang berpuasa karena saking semangatny,hehehe... Akhirnya setelah 1 jam bergoncang ria dan bercanda di pick up, kami pun tiba di pos pendakian mt.Papandayan..




Yuup, melapor di pos pendakian sudah, absen ulang pesertaun sudah maka saatnya mendaki.. Baru saja mulai mendaki sudah disuguhkan dengan kawah belerang yang baunya masih sangat menyengat, kawah itu masih aktif yang ditandai dengan semburan asap berbau belerang. Ada yang unik di pendakian ini yaitu ada ojek menggunakan motor tril, tak disangka juga beberapa masyarakat lokal nekad bermotor di jalur pendakian ini, "Mungkin mereka bisa juara motor cross", celetuk teman saya, bisa jadi sih karea harus punya skill tinggi dalam menggendarai motor di sana karena bisa-bisa nyebur ke jurang tuh, wahh jangan sampai dah.
Kami melewati jalur hutan mati, mungkin dikatakan hutan mati karena pohon-pohon nya sudah tidak tumbuh lagi alias sudah mati, hanya batang-batang kering yang tertancap ditanah sama seperti di daerah kawah putih, Bandung. 




Lingkaran Tenda


Lama pendakian kita tempuh kira-kira 4 jam dan akhirnya sampai juga di tempat tuk mendirikan tenda yaitu Bukit Saladah. Satu persatu tenda didirikan dan posisi tiap tenda hampir membentuk sebuah lingkaran karena memang kita ingin memjaga kebersamaan meskipun belum kenal semua sesama pendaki, hihi maklum jumlah pesartanya lebih dari 40 orang. Pendakin kali itu memang direncanakan tuk melakukan taraweh berdama diatas gunung, tentu saja bagi teman-teman yang menjalankan ibadah puasa dan they did it, congratz guyss..!! Dini harinya, niatnya sih ingin melihat sunrise but cuaca ga mendukung sob alhasil saya dan teman-teman setenda pada meringkuk di dalam tenda alias tidur (takutkena air hujan, hehehe) tapi kawan-kawan pendaki lain ada juga yang tetap mencoba  melihat sunrise dan edelwise, semangat nih yee..



Narcis Bersama


Kira-kira jam 10 pagi tiba saatnya kami tuk turun gunung, tapi tidak lupa sesi yang paling penting yaitu foto-foto donk. Selesai bernarsis ria, kami pun turun dan perjalanan turun kira-kira hanya 1 jam lamanya. Setelah itu dilanjutkan dengan kecerian bersama di mobil pick up dengan bermain ABC lima dasar (tebak-tebakan dengan awalan huruf yang ditentukan, kalo tidak bisa jawab siap-siap tangan kena sentil). Tiba di terminal Garut, sebagian dari kami berpisah dengan tujuan masing-masing dan disinilah akhir dari cerita perjalanan muncak di Papandayan, See you next time...!!!