Pukul 4 pagi saya dan teman-teman tiba di Tasik setelah menempuh perjalanan lebih kurang 5 jam dari terminal kampung rambutan dengan bis Karunia Bakti. Sesampainnya di sana, kami pun singgah di sebuah mesjid hingga fajar datang tuk mengunjungi perkampungan yang masih tradisional, yaitu Kampung Naga.
Pusaka Tugu Kujang |
Kira-kira pukul 6 pagi, kami berlima memasuki gapura Kampung Naga, terlihat tugu kujang dari kejauhan. Yup, itulah simbol dari perkampungan tersebut, kujang itu sendiri terbuat dari leburan senjata pusaka yang dimiliki 900 kerajaan yang ada di nusantara, ditempa oleh 40 empu selama 40 hari lebih dan diresmikan pada 16 April 2009. Begitulah keterangan yang disampaikan oleh mang Tatang yang memperkenalkan diri kepada kami saat melihat tugu kujang itu. Mang Tatang sendiri adalah orang asli Kampung Naga yang berbaik hati menjadi guide kami selama menyusuri perkampungan itu, jadilah kami mendapat informasi dari orang yang tepat, cihuuyy..
Mang Tatang menjelaskan banyak hal seputar Kampung Naga, bahwasanya semua yang ada di perkampungan itu mempunyai tujuan dan maksudnya masing-masing.
Sambil menyusuri satu persatu anak tangga, kami berpapasan dengan adik-adik yang berpakaian pramuka dari perkampungan tersebut, terlihat malu dari wajah mereka yang hanya melemparkan senyum simpul lalu pergi begitu saja.
Di salah satu spot anak tangga itu, terlihat sawah yang bersusun rapi dan bertingkat-tingkat serta perumahan yang terlihat seperti gubuk-gubuk dari kejauhan. Mang Tatang menjelaskan bahwa sistem tanam padi disana dilakukan dengan sistem JanLi, yaitu ditanam pada bulan Januari dan Juli, mereka tidak menggunkan pembasmi hama karena penanaman dilakukan serentak begitu juga dengan masa panennya sehingga hama tidak berkembang biak dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Ada sebuah hutan larangan di kampung itu, dimana siapapun tidak boleh masuk ke dalam sana. Di sebut larangan karena mereka ingin menjaga hutan tersebut agar tidak rusak, agar ada lahan tuk penyerapan air sehingga mereka hidup bersama alam bukannya merusak alam seperti dikota-kota besar.
Ada 113 bangunan di perkampungan itu, 3 diantaranya bangunan umum dan sisanya adalah rumah. Ketika memasuki rumah di sana, masih serba tradisional dan menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Atap rumahnya terbuat dari ijuk, dindingnya terbuat dari bambu-bambu dan pondasi nya hanya dari batu yang ditancapkan lebih kurang 15 cm ke dalam tanah tapi hebatnya saat terjadi gempa di Tasik rumah-rumah disana tidak ada yang roboh, wow. Kami memasuki rumah mang Tatang dan merasakan sejuk didalamnya, hal ini terjadi karena saat panas matahari, ijuk menghambat panas itu sehingga membuat udara di dalam rumah menjadi sejuk dan sebaliknya jika hujan, ijuk bisa menahan dingin udara di luar dan mempertahankan kondisi di dalam rumah tetap sejuk, dan lebih hebatnya lagi tiap rumah itu bisa bertahan hingga 40 tahun lamanya, hmmm super duper..
Oh ya istri mang Tatang sedang masak saat itu, dan tetap menggunakan bahan dari alam yaitu kayu bakar (hari gini masih pakai kayu bakar, hebat bukan?) serta tungkunya dibuat dari tanah liat. Mereka bukanya tidak menerima moderinasi jaman sekarang tetapi memang mau mempertahankan kebudayaan dan kesederhanaannya, Salutt!! Tiap rumah selalu berhadapan dengan rumah yang lain dan hanya terdiri dari 3 ruang yaitu dapur, ruang istirahat atau kamar dan ruang tamu. Tiap rumah tidak memiliki pintu belakang dan tidak memiliki kamar mandi sehingga semua aktifitas seperti mencuci, mandi, BAB atau yang berhubungan dengan kamar mandi dilakukan diluar rumah. Sempat terpikirkan oleh saya apabila malam-malam kebelet tuk BAB dan hujan pula, mau ga mau harus bawa payung plus obor karena belum ada listrik, betapa susahnya BAB saja, huffftt...
Mang Tatang mengajak kami tuk berkeliling melihat rumah-rumah itu, dan beliau bertanya kepada kami apa tanda yang ada di atap rumah? Itu tanda V dan kalian tahu apa artinya, beliau bertanya lagi? Artinya peace/damai, setiap agama ataupun adat istiadat diciptakan untuk membuat kedamaian tergantung dari orang yang menjalankannya, dan seketika saya tertegun saat mendengarnya karena memang saat itu saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri terlebih masalah-masalah yang baru saja saya alami dan hari itu saya belajar tentang kedamaian.
Puas berkeliling, mang Tatang mengajak kami tuk melihat kesenian setempat, adalah mang Encup yang sedang membuat alat musik karinding, alat musik yang cukup aneh karena untuk menghasilkan bunyi harus ditempelkan dibibir sambil digetarkan. Karena pingin coba maka saya pun menempelkan bibir saya ke karinding, dan bunyi yang saya hasilkan tak terdengar alias tidak berbunyi, hehehe..
Puas berkeliling Kampung Naga, kami menikmati kesejukan balai desa sambil merobohkan badan tuk sesaat. Matahari menyirami kampung itu terik sekali dan kumandang cacing dari perut kami mulai bermunculan, maka tiba waktu tuk kami beranjak dari kunjungan di perkampungan itu serta mencari makan siang (lafarrrr, maklum saya sendiri tidak sarapan). Uppss sebelum itu ada satu tugas penting yaitu menghitung anak tangga, jreng,,jreng.. Berbeda ketika datang, anak tangga yang kami susuri jalanya menurun, maka tuk pulang adalah sebaliknya, hmmm siapa takut? Mang Tatang memberitahukan bahwa anak tangga berjumlah 439. Satu persatu anak tangga kami hitung, awalnya mudah, ditengah-tengah mulai terengah-engah dan satu persatu teman saya sudah melupakan hitungannya, lalu pada akhirnya entah kenapa jumlah anak tangga yang saya hitung adalah 442, yah lebih 3 (darimana tuh kelebihan nya?) Wah karena sudah ngos-ngosan saya tidak mau menghitung ulang lagi apalagi perut sudah keroncongan. Perpisahan kami dengan Mang Tatang pun tak terelakan lagi dan kami beranjak pergi. Yupp beliau sudah mengajarkan banyak hal dari kesederhanaan sampai kedamaian Kampung Naga.
"Thanks my Lord, You teach me about peace....."
See ya...,,!!!
Adik-adik Pramuka |
Sambil menyusuri satu persatu anak tangga, kami berpapasan dengan adik-adik yang berpakaian pramuka dari perkampungan tersebut, terlihat malu dari wajah mereka yang hanya melemparkan senyum simpul lalu pergi begitu saja.
Di salah satu spot anak tangga itu, terlihat sawah yang bersusun rapi dan bertingkat-tingkat serta perumahan yang terlihat seperti gubuk-gubuk dari kejauhan. Mang Tatang menjelaskan bahwa sistem tanam padi disana dilakukan dengan sistem JanLi, yaitu ditanam pada bulan Januari dan Juli, mereka tidak menggunkan pembasmi hama karena penanaman dilakukan serentak begitu juga dengan masa panennya sehingga hama tidak berkembang biak dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Ada sebuah hutan larangan di kampung itu, dimana siapapun tidak boleh masuk ke dalam sana. Di sebut larangan karena mereka ingin menjaga hutan tersebut agar tidak rusak, agar ada lahan tuk penyerapan air sehingga mereka hidup bersama alam bukannya merusak alam seperti dikota-kota besar.
Sawah Tanpa Pestisida |
Ada 113 bangunan di perkampungan itu, 3 diantaranya bangunan umum dan sisanya adalah rumah. Ketika memasuki rumah di sana, masih serba tradisional dan menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Atap rumahnya terbuat dari ijuk, dindingnya terbuat dari bambu-bambu dan pondasi nya hanya dari batu yang ditancapkan lebih kurang 15 cm ke dalam tanah tapi hebatnya saat terjadi gempa di Tasik rumah-rumah disana tidak ada yang roboh, wow. Kami memasuki rumah mang Tatang dan merasakan sejuk didalamnya, hal ini terjadi karena saat panas matahari, ijuk menghambat panas itu sehingga membuat udara di dalam rumah menjadi sejuk dan sebaliknya jika hujan, ijuk bisa menahan dingin udara di luar dan mempertahankan kondisi di dalam rumah tetap sejuk, dan lebih hebatnya lagi tiap rumah itu bisa bertahan hingga 40 tahun lamanya, hmmm super duper..
Oh ya istri mang Tatang sedang masak saat itu, dan tetap menggunakan bahan dari alam yaitu kayu bakar (hari gini masih pakai kayu bakar, hebat bukan?) serta tungkunya dibuat dari tanah liat. Mereka bukanya tidak menerima moderinasi jaman sekarang tetapi memang mau mempertahankan kebudayaan dan kesederhanaannya, Salutt!! Tiap rumah selalu berhadapan dengan rumah yang lain dan hanya terdiri dari 3 ruang yaitu dapur, ruang istirahat atau kamar dan ruang tamu. Tiap rumah tidak memiliki pintu belakang dan tidak memiliki kamar mandi sehingga semua aktifitas seperti mencuci, mandi, BAB atau yang berhubungan dengan kamar mandi dilakukan diluar rumah. Sempat terpikirkan oleh saya apabila malam-malam kebelet tuk BAB dan hujan pula, mau ga mau harus bawa payung plus obor karena belum ada listrik, betapa susahnya BAB saja, huffftt...
Rumah yang Saling Berhadapan |
Mang Tatang mengajak kami tuk berkeliling melihat rumah-rumah itu, dan beliau bertanya kepada kami apa tanda yang ada di atap rumah? Itu tanda V dan kalian tahu apa artinya, beliau bertanya lagi? Artinya peace/damai, setiap agama ataupun adat istiadat diciptakan untuk membuat kedamaian tergantung dari orang yang menjalankannya, dan seketika saya tertegun saat mendengarnya karena memang saat itu saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri terlebih masalah-masalah yang baru saja saya alami dan hari itu saya belajar tentang kedamaian.
Tanda V (Peace) |
Puas berkeliling, mang Tatang mengajak kami tuk melihat kesenian setempat, adalah mang Encup yang sedang membuat alat musik karinding, alat musik yang cukup aneh karena untuk menghasilkan bunyi harus ditempelkan dibibir sambil digetarkan. Karena pingin coba maka saya pun menempelkan bibir saya ke karinding, dan bunyi yang saya hasilkan tak terdengar alias tidak berbunyi, hehehe..
Puas berkeliling Kampung Naga, kami menikmati kesejukan balai desa sambil merobohkan badan tuk sesaat. Matahari menyirami kampung itu terik sekali dan kumandang cacing dari perut kami mulai bermunculan, maka tiba waktu tuk kami beranjak dari kunjungan di perkampungan itu serta mencari makan siang (lafarrrr, maklum saya sendiri tidak sarapan). Uppss sebelum itu ada satu tugas penting yaitu menghitung anak tangga, jreng,,jreng.. Berbeda ketika datang, anak tangga yang kami susuri jalanya menurun, maka tuk pulang adalah sebaliknya, hmmm siapa takut? Mang Tatang memberitahukan bahwa anak tangga berjumlah 439. Satu persatu anak tangga kami hitung, awalnya mudah, ditengah-tengah mulai terengah-engah dan satu persatu teman saya sudah melupakan hitungannya, lalu pada akhirnya entah kenapa jumlah anak tangga yang saya hitung adalah 442, yah lebih 3 (darimana tuh kelebihan nya?) Wah karena sudah ngos-ngosan saya tidak mau menghitung ulang lagi apalagi perut sudah keroncongan. Perpisahan kami dengan Mang Tatang pun tak terelakan lagi dan kami beranjak pergi. Yupp beliau sudah mengajarkan banyak hal dari kesederhanaan sampai kedamaian Kampung Naga.
"Thanks my Lord, You teach me about peace....."
See ya...,,!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar