Kota yang saya tinggali adalah tempat yang sangat padat penduduk dan bangunan, riuh di pagi hari, ricuh di siang hari, lalu semraut di sore menjelang malam. Tak ayal kegiatan sehari-hari di kota Jakarta membuat saya ingin melepas penat dari kesibukan itu.
Hari Jumat malam, selepas bermain futsal bersama teman kantor, saya berkumpul di kost-an teman tuk menuju suatu desa yang disebut Desa Sawarna. Roadtrip kami lakukan beranggotakan 6 orang, semuanya para lelaki petualang. 5 1/2 jam lamanya menuju desa itu, tiba jam 4.30 wib. Andrew Homestay adalah tempat yang sudah kami pesan tuk singgah, tempatnya tepat berada di dekat salah satu ikon Desa Sawarna yaitu jembatan cinta.
Pengunjung Bergantian Melewati Jembatan Cinta |
Istirahat sejenak tuk meluruskan badan setelah sekian lama duduk di mobil. Setelah cukup beristirahat, kami berjalan menuju Goa Lalay, saya kira tempat itu tak jauh tapi ternyata cukup membuat otot betis saya mengeras, fiiuhh.
Plank Petunjuk Jalan |
Sampai di spot, ada dua pilihan menyusuri Goa Lalay, yaitu dengan jarak 400 m dan jarak 1,5 km. Kami menjatuhkan pilihan pada pilihan pertama, karena waktu yang terbatas dan ingin menelusuri tempat yang lain juga. Di dalam gua itu, stalaktit tumbuh dengan subur sedangkan stalakmit tak terlihat karena ada aliran air yang cukup deras sehingga membuat kami pelan-pelan menyusurinya.
Di dalam Goa Lalay |
Baguslah tidak ada fandalisme (aksi coret menyoret) di dalam goa itu seperti yang saya lihat di beberapa goa lainnya, biasanya sih dilakukan oleh para ABG ababil yang sedang jatuh cinta ataupun putus cinta. Tak berapa lama kami menyusuri goa itu, perjalanan kaki dilanjutkan menuju Legon Pari. Nah, dari Goa Lalay menuju Legon Pari harus kami lalui bentangan sawah terlebih dahulu. Sawah terhampar luas di depan mata, saat itu sawah sedang dibajak, ada yang menggunakan mesin bajak dan ada pula yang masih menggunakan kerbau. Para bapak membajak sawah, sedangkan para ibu menanam bibit padinya, ditemani anak-anak yang bermain dipinggiran sawah. Terpajang kealamiahan yang masih terjaga, sekejap memenuhi hasrat mata saya akan hal-hal yang tak pernah lagi saya lihat di kota-kota besar.
Dari Goa Lalay Menuju Legon Pari |
Setelah sawah kami lewati, bukit yang banyak ditumbuhi ilalang harus kami lalui dan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi tak luput dari jejak kaki kami.
Di Legon Pari, sekelompok anak muda sedang bermain di pinggir pantai, membasai diri dengan air laut semenit kemudian saling melempar pasir, keceriaan yang jarang didapat. Saya hanya mengamati mereka sambil menikmati air kelapa muda yang menyegarkan tenggorokan.
Legon Pari |
Menikmati Indahnya Legon Pari dengan Kesegaran Kelapa Muda |
Matarahi tepat berada di atas kepala kami, lalu saya dan teman-teman beranjak dari Legon Pari menuju homestay tuk makan siang. Teriknya sang surya sangat terasa di ubun-ubun dan menelusuk ke perut tapi tak menyurutkan keceriaan kami yang always on olways happy. Salah satu teman saya-mirip seperti Pepi- seringkali menyebut nama kecengannya, padahal klo ada orangnya mah tak bisa berkutik apa-apa alias malu setengah hidup. Tak luput selama diperjalanan teman saya itu menjadi candaan selama siang tengah bolong itu. Akhirnya sampai juga di tempat makan, semenit kemudian hidangan yang kami pesan pindah kedalam perut.
Selesai makan siang, kami langsung menuju pantai Pulo Manuk, karena kaki masih pegal, kamipun memutuskan untuk naik mobil. Banyak perahu nelayan tidak melaut, anak-anak kecil dengan asiknya bermain air di sungai kecil dekat pantai itu.
Selesai makan siang, kami langsung menuju pantai Pulo Manuk, karena kaki masih pegal, kamipun memutuskan untuk naik mobil. Banyak perahu nelayan tidak melaut, anak-anak kecil dengan asiknya bermain air di sungai kecil dekat pantai itu.
Perahu Nelayan Bersandar di Pantai Pulo Manuk |
Anak-anak kecil Bermain di Sungai Kecil |
Sore hari kami habiskan tuk menyusuri pesisir Pantai dan mengabadikan kokohnya karang Tanjung Layar lewat kamera. Sayang seribu sayang sunset saat itu tak terlihat karna mendung dan seketika hujan memastikan sunset takkan terlihat, too bad.
Kamipun terjebak dalam derasnya hujan, untungnya banyak warung yang menyediakan gubuk tuk kami singgah menunggu hujan reda. Saya mengamati bahwa banyak warung yang mulai merambah, ditandai dengan bangunan yang belum selesai seutuhnya ataupun baru mulai dibangun.
Wah waah wah dalam benak terbesit bakal ada gubuk-gubuk mesum nantinya, mudah-mudahan saja benak saya keliru. Hampir sejam kami menunggu disalah satu warung, walapun rintik masih turun kami bergegas meninggalkan Tanjung Layar. Tak berapa jauh meninggalkan gubuk, hujan kembali menghadang sehingga kami berlindung di warung lainnya. Deburan ombak berkali-kali terdengar, diselingi nyanyian gemuruh. Gelapnya malam dihiasi kilatan petir dan pertanyaan Pepi "film mana yang lebih seram, Conjuring atau Insidious?" menambah malam itu semakin gelap.
Keramaraian Sore Hari di Pantai |
Banyak Gubuk/Warung di Pinggir Pantai |
Wah waah wah dalam benak terbesit bakal ada gubuk-gubuk mesum nantinya, mudah-mudahan saja benak saya keliru. Hampir sejam kami menunggu disalah satu warung, walapun rintik masih turun kami bergegas meninggalkan Tanjung Layar. Tak berapa jauh meninggalkan gubuk, hujan kembali menghadang sehingga kami berlindung di warung lainnya. Deburan ombak berkali-kali terdengar, diselingi nyanyian gemuruh. Gelapnya malam dihiasi kilatan petir dan pertanyaan Pepi "film mana yang lebih seram, Conjuring atau Insidious?" menambah malam itu semakin gelap.
Tak mau berlama-lama lagi menunggu hujan reda, kami setengah berlari melewati gelapnya pesisir pantai dan singgah lagi di salah satu warung. Tergiur oleh spanduk yang bertuliskan ikan bakar membuat kami berhenti di warung itu, perut memang sudah keroncongan. Memang mantap menyantap ikan segar yang di bakar selagi cuaca dingin. Selepas makan, akhirnya kami benar-benar kembali ke homestay tuk mebersihkan badan yang bercampur keringat dan air hujan.
Sisa malam kami habiskan dengan bermain PS, hanya saya dan Pepi yang tahan bermain sampai tengah malam sebelum akhirnya merayap ke kasur.
Pagi harinya udara terasa dingin, saya memakai baju hangat tuk menahan udara saat itu. Hanya saya dan seorang teman yang berniat bangun pagi-pagi tuk mengejar sunrise, keempat teman lainnya memilih bertahan di kasur. Tak dapat sunset di hari sebelumnya tapi untunglah sunrise nya ciamik di balik Tanjung Layar, tak percuma perjuangan bangun pagi-pagi.
Melihat pasangan yang bergandengan tangan membuat perasaan bercampur aduk (senang dan sebel). Senang karena ada keromatisan di dalamnya, sebel karena saya bukan salah satu dari pasangan itu... Puas mengambil gambar, kembali ke homestay dan menemukan keempat teman yang masih enak berbaring di kasur. "Kirain sudah bergantian mandi, eh ternyata masih ngorok" celoteh saya kepada mereka. Silih berganti memasuki kamar mandi sambil ritual pagi. Kira-kira pukul 10 pagi, kami berpamitan kepada om Andrew sang pemilik homestay. Satu setengah jam tiba di pelelangn ikan di Pelabuhan Ratu, memasuki rumah makan bermaksud mengisi kekosongan perut. Ikan Kerapu dan Cumi adalah menu yang kami pesan siang itu. Hidangan ludes dalam sekejap, maklum kami pejantan yang sedang kelaparan. Perut kenyang siap tuk melanjutkan perjalanan pulang. Bukit kami lewati dan pemandangan saat perjalanan pulang lebih menakjubkan daripada saat datang, karna kami melewatinya siang hari. Terbentang pesisir pantai Pelabuhan Ratu dari ketinggian beserta dengan tebing yang menjulang tinggi. Dipertengahan jalan macet tak terhindarkan karena ada jembatan yang sedang direnovasi, teman yang bisa menyetir mobil hanya satu orang, allhasil dialah yang paling pusing menghadapi macet itu. Tak terasa waktu itu cepat berlalu, sejenak menepi dari keramaian kota dan melepas penat. Kembali lagi harus berkutat dengan ramainya ibukota, entah sampai berapa lama lagi hingga destinasi petualangan kembali dimulai. Uppss hampir lupa, trip ke Desa Sawarna kala itu merupakan trip para jomblo, biar jomblo yang penting heppy...
Sunrise di Tanjung Layar |
Melihat pasangan yang bergandengan tangan membuat perasaan bercampur aduk (senang dan sebel). Senang karena ada keromatisan di dalamnya, sebel karena saya bukan salah satu dari pasangan itu... Puas mengambil gambar, kembali ke homestay dan menemukan keempat teman yang masih enak berbaring di kasur. "Kirain sudah bergantian mandi, eh ternyata masih ngorok" celoteh saya kepada mereka. Silih berganti memasuki kamar mandi sambil ritual pagi. Kira-kira pukul 10 pagi, kami berpamitan kepada om Andrew sang pemilik homestay. Satu setengah jam tiba di pelelangn ikan di Pelabuhan Ratu, memasuki rumah makan bermaksud mengisi kekosongan perut. Ikan Kerapu dan Cumi adalah menu yang kami pesan siang itu. Hidangan ludes dalam sekejap, maklum kami pejantan yang sedang kelaparan. Perut kenyang siap tuk melanjutkan perjalanan pulang. Bukit kami lewati dan pemandangan saat perjalanan pulang lebih menakjubkan daripada saat datang, karna kami melewatinya siang hari. Terbentang pesisir pantai Pelabuhan Ratu dari ketinggian beserta dengan tebing yang menjulang tinggi. Dipertengahan jalan macet tak terhindarkan karena ada jembatan yang sedang direnovasi, teman yang bisa menyetir mobil hanya satu orang, allhasil dialah yang paling pusing menghadapi macet itu. Tak terasa waktu itu cepat berlalu, sejenak menepi dari keramaian kota dan melepas penat. Kembali lagi harus berkutat dengan ramainya ibukota, entah sampai berapa lama lagi hingga destinasi petualangan kembali dimulai. Uppss hampir lupa, trip ke Desa Sawarna kala itu merupakan trip para jomblo, biar jomblo yang penting heppy...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar