Kehadiran hujan yang terus mengguyur selama beberapa hari mengiringi petualangan kami saat itu. Saya dan teman-teman dari Mapala Universitas Pelita Nusantara (UPN) Kediri berniat tuk melakukan penanjakan. Kami mengendarai 3 kuda besi yang tentunya takkan meringkih karena hujan, dimulai dari kota Kediri menuju kaki Gunung Wilis. Gunung Wilis dikelilingi oleh 6 wilayah kabupaten yaitu : Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek. Oh ya, saat itu kami mendaki melalui daerah Nganjuk.
Air sungai meluap begitu deras dan warna airnya coklat kehitaman serta suara alirannya menggetarkan gendang telinga kami dari jalan raya yang dilalui. Di tempat penitipan motor sebelum penanjakan, kami dicegah oleh beberapa pemuda yang mengatas-namakan Perhutani. Mereka mengatakan bahwa untuk sementara penanjakan ditutup karena hujan yang lebat dan ada longsor. Ya, memang terlihat dari air sungai yang meluap begitu derasnya. Perdebatan yang alot terjadi selama beberapa saat, mereka merekomendasikan agar kami membatalkan penanjakan tetapi teman Mapala mengatakan bahwa mereka sudah sering nanjak ke gunung ini dan hafal dengan medannya. Dengan sedikit kengototan kami, akhirnya pemuda Perhutani itu menyarankan agar kami membuat surat pernyataan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka nantinya mereka takkan bertanggung-jawab. Kami pun menyatakan iya dan memenuhi surat pernyataan itu.
|
Patung Jenderal Sudirman dan Pejuang Merencanakan Serangan |
Rasa senang menyelimuti pikiranku karena kami jadi tuk menanjak tapi rasa cemas dan khawatir turut menyertai karena memang cuaca yang tak terlalu bersahabat saat itu. "Dahulu kala Gunung Wilis ini pernah dilalui Jenderal Sudirman sebelum melakukan Serangan Sebelas Maret ke Yogyakarta dan biasanya para pendaki kini menyebutnya Tapak Tilas" terang DW, salah seorang Mapala UPN yang memimpin penanjakan kami.
Rintik-rintik hujan seakan-akan ingin terus menemani kami yang membuat awal penanjakan bertambah lebih berat. Belum juga setengah jam penanjakan nafas saya terengah-engah karena trek yang menanjak tajam. "Ko trek nya naik terus ya Mar" seru saya kepada Damar -kawan yang mengajak saya mendaki Gunung Wilis-. "Iyalah bang namanya juga nanjak" sahut Damar sambil tertawa. Entah kenapa saya berpikir penanjakan kali ini terlalu berat, sepertinya tubuh saya terkena efek kejut. "Makannya kecilin tuh perut bang" sentil Damar. "Dulu saya sering olahraga Mar dan perut tak sebulat ini" alibi saya kepadanya, padahal memang akhir-akhir ini saya sering kuliner-an dan selalu tergoda untuk mencicipi makanan baru dari berbagai daerah.
Pukul 6.30 sore hari, kami tiba di pos 1 itu artinya kami sudah bejalan selama satu setengah jam. Cahaya headlamp kami menembus gelap menerangi jalur setapak yang kami lalui. Terlintas dalam benak saya bagaimana dulunya para pejuang harus melalui jalur ini tuk melakukan serangan, sungguh perjuangan yang super duper melelahkan.
Setapak demi setapak kaki ku meninggalkan jejak sama seperti mereka yang dahulu menjadi pejuang dan melewati jalur itu. Tiba di pos dua setelah menambah waktu jalan selama satu jam lagi. Segera bergegas menuju pos tiga tempat kami akan mendirikan tenda disana. "Ayo nanti kita bisa minum kopi sambil menikmati pemandangan kota Kediri dan Nganjuk" seru Damar memberi semangat. "Sepertinya kita tak bawa kopi deh" Bety -salah satu wanita yang ikut mendaki- menimpali. "Waduh, jangan-jangan lupa dimasukan ke dalam tas tadi" sesal Damar.
"Tapi kita bawa susu ko" seru Endang - salah dua wanita yang juga ikut mendaki-. Bety dan Endang adalah teman Damar dan mereka wanita tangguh yang suka naik gunung. "Ya baiklah tak ada kopi, susu pun jadi" Damar mencoba membuat pribahasa.
Percakapan yang menemani kami diselengi canda tawa membawa kami tiba di pos 3.
|
Saat Tiba di Pos 3 |
|
Bety Menikmati Cahaya Lampu Kota Kediri |
Disana saya melihat ada sebuah arca, tersusun dari batu-batu. Betul saja kami bisa menikmati indahnya lampu-lampu kota Kediri dan Nganjuk, it's amazing guys.. Menatap keindahan itu sambil ditemani susu serta berbagi pengalaman bersama kawan sepenanjakan itu "sesuatu" banget, ya sesuatu yang harus dirasakan sendiri oleh tiap pribadi yang suka berpetualang.
|
Ketika Sunrise Tiba |
|
Sang Surya Yang Menyinari Bumi |
"Sunrise bang, sunrise" teriak Damar yang seketika menyadarkan saya dari tidur. Sinar sang surya perlahan memberikan kehangatan ketika saya keluar tenda. Sinar jingga dari kejauhan menempel diwajah saya dan asap keluar dari mulut seperti seorang yang sedang menghembuskan asap rokok.
Ternyata ada 4 orang kawan Mapala UPN yang menyusul kami dan tiba jam 2 malam. Sarapan kami persiapkan tuk menuju puncak. Yang menjadi kebiasaan unik para Mapala adalah kebersamaannya, hal itu terlihat ketika hidangan sarapan dituang diatas seutas daun pisang dan kami bersembilan menyantapnya bersama.
|
Arca |
|
Area Camp |
|
Pos Sekartaji |
Tubuh tak lagi menunduk tuk menggapai puncak, tapi harus berdiri tegak mengadapi turunan licin. Tak jarang kaki saya terpeleset sehingga bokong menyentuh tanah berulang kali. Waktu tuk turun tak selama saat nanjak, well usaha yang keras tuk mencapai puncak berbanding terbalik saat turun.
Ternyata di Gunung Wilis banyak dijumpai air terjun, ada yang tinggi dan pendek, sumber air yang tak terbatas terlebih saat musim hujan, tentu volume airnya bertambah banyak. Saya sadari pula ternyata banyak trek disana yang tak kurang dari satu meter sebelah kiri atau kanan adalah jurang, jadi harus ekstra hati-hati.
Bersama alam kita bisa belajar kehidupan, mencapai puncak tidaklah mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Menunduk dan melangkahkan kaki step by step. Tetap jaga harapan tuk suatu tujuan. Bukan perkara bisa atau tidak bisa, tapi lebih kepada mau atau tidak mau untuk menghadapinya. Saat turun, sering kali jatuh atau terpeleset tapi harus bangkit tiap kali jatuh dan berdiri tegak. Khawatir, takut, keputusasaan, letih, amarah, dsb adalah bagian dari proses-proses tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar