Sabtu, 21 Februari 2015

Bersembunyi di Balik Air Terjun - Coban Rondo

        Menurut legenda, dahulu kala seorang Dewi bernama Dewi Anjarwati bersembunyi di balik air terjun karena sedang diperebutkan oleh Joko Lelono dan Raden Baron (suaminya). Pada akhirnya kedua lelaki itu tewas dan Dewi Anjarwati yang baru saja menjadi istri Raden Baron selama 36 hari harus menjadi janda. Dalam bahasa jawa untuk seorang janda adalah Rondo. Sedangkan Coban berarti air terjun, sehingga Coban Rondo dikenal sebagai air terjun tempat bersembunyi-nya Dewi Anjarwati yang menjadi janda.
        Coban Rondo merupakan bagian dari air terjun bertingkat, dimulai dari air terjun kembar dengan nama Coban Manten, bergabung menjadi satu dengan nama Coban Dudo, dan mengalir kebawah dengan nama Coban Rondo.


Gapura Coban Rondo

        Saat saya mengunjungi air terjun yang memiliki ketinggian sekitar 84 m itu, volume airnya banyak dan deras sekali. Serpihan air terjun begitu terasa diwajah ketika saya mencoba mendekati air terjun itu. Melihatnya dari dekat membuat saya harus mendongakkan kepala hingga leher terasa sakit. Terbayang hasrat ingin melihat dari atas sana bagaimana air itu bisa mengalir sekian banyaknya dan tak henti-henti.


Coban Rondo

        Sayangnya saya tak bisa mencelupkan diri di sekitar air terjun itu karena pemandu tour sudah memanggil tuk segera kembali ke bus. Wah, memang tidak enak ya jika menggunakan jasa tour n travel karena waktu sangat terbatas sekali. Kembali dari air terjun, saya melihat sekelompok kera sedang asik bermain dan ada seekor kera besar yang mangasingkan diri hendak meminta makan atau hanya sekedar menyapa pengunjung yang lewat.


Seekor Kera Mengamati Pengunjung yang Datang

        Sedikit informasi, Coban Rondo terletak di daerah Batu, 12 km dari kota Batu. Di sana ada juga yang menawarkan berbagai kegiatan seperti ; flying fox, colour gun, berkemah, dll. Yang tak kalah menariknya tentu saja beberapa warung yang menyajikan sajian pengisi perut, saya mencoba jagung bakar yang sangat pas disantap di daerah dingin itu.

Selasa, 17 Februari 2015

Petik dan Makan Apel Sepuasnya

Setelah bertanya-tanya kepada warga setempat dimana saya bisa beragrowisata petik apel di Batu, Malang. Tibalah saya di daerah Selecta, tepatnya di jalan Dipenegoro 10, desa Tulungrejo kecamatan Bumiaji, Batu, Malang - Jawa Timur. Tidak ada angkutan umum yang menuju kebun apel itu, pengunjung bisa mencapainya dengan kendaraan pribadi atau menyewa jasa tukang ojek.  Setelah membayar tiket masuk Rp. 20.000,- kepada kelompok tani, saya diantar oleh Pak Eko yang merupakan salah satu tukang ojek disana. Saat berada dimotor, saya melihat langit ditutupi segumpalan awan mendung tapi tak menyurutkan rasa penasaran saya tuk mencoba petik apel. Ketika memasuki kawasan kebun apel, Pak Eko menerangkan bahwa "kebun apel di sini adalah kepunyaan beberapa petani, jadi lokasi petik apel berpindah-pindah tergantung dari kebun apel mana yang siap dipanen". Itu menjelaskan dari apa yang saya lihat bahwa ada sebagian kebun apel yang belum berbuah dan sebagian lagi siap dipanen. Saat tiba di salah satu kebun, ada seorang pemuda yang mambagikan kantong pelastik dan menjelaskan jika ingin membawa pulang apel akan dikenakan biaya Rp. 20.000,- per kilo dan bebas memakan apel ditempat sepuasnya.


Kebun Apel di Daerah Selecta, Batu, Malang


Pohon apel ternyata tidaklah terlalu tinggi, sehingga tidak terlalu menyulitkan pengunjung untuk memetiknya bahkan untuk ukuran anak kecil. Menyusuri kebun apel saya melihat beberapa kelompok pengunjung yang sedang asik makan apel yang baru saja mereka petik. Lebih ketengah saya menyusuri, melihat ada beberapa petani sedang memotong ranting pohon apel. Langsung saja saya bertanya "kenapa dipotong rantingnya pak?", "sehabis berbuah pohon-pohon apel harus dipangkas rantingnya agar bisa berbuah lagi", timpal petani apel itu. Beliau juga menjelaskan "selain harus dipangkas rantingnya, kebersihan kebun apel pun harus dijaga, seperti daun gugur dan rumput liar harus dibersihkan". "Lalu bagaimana dengan masa panennya, pak?", rasa ingin tahun saya pun menjadi-jadi. "Kira-kira 4 - 5 bulan sekali", jawabnya. 



Apel yang Matang (kiri) dan yang belum Matang (kanan)


Salah Satu Petani dan Pemilik Kebun Apel, Pak Yasin


Karena Hama, Beberapa Apel Tak Bisa Dipanen


Beliau juga mengajarkan saya memilih buah apel yang sudah matang jika, "apel yang sudah matang itu bisa dilihat dari warnanya, warna terang menandakan masih muda dan apabila agak pucat menandakan sudah matang. Hal kedua, bisa dilihat dari kuncup buahnya, jika masih tertutup artinya belum matang dan rasanya masam, jika kuncupnya sudah mekar artinya sudah matang dan rasanya pasti manis". Untuk membuktikannya langsung saja saya coba memakan apel yang ditunjukkan oleh pak petani itu, dan betul saja apa yang barusan beliau bilang. Ya memang pastinya petani apel itu sudah memahami betul ciri-ciri apel dan juga pohonnya. Namanya adalah Pak Yasin, salah satu dari pemilik kebun apel dan beliau sudah menjadi petani sedari kecil, kemampuannya bertani diturunkan oleh ayahnya. Banyak pelajaran dan pengetahuan saya dapatkan ketika berbincang dengan beliau. 


Tumapangsari

Oh ya, beberapa kebun apel disana sebagai pemanfaatan yang lain biasanya ditanami juga jenis tumbuhan seperti jahe, sawi, lengkuas dll, disebut juga tumpangsari. Jadi bersamaan dengan pohon apel ditanami tumbuhan yang lain.

Setelah cukup memakan apel dan menyiapkannya dikantong plastik, saya bergegas kembali ke tempat Pak Eko menunggu karena rintik-rintik hujan yang turun tak bisa dihindari lagi.
Sangat menyegarkan wawasan dan tubuh ketika saya mengunjungi kebun apel itu.








Minggu, 15 Februari 2015

Tapak Tilas - Wilis Mountain

          Kehadiran hujan yang terus mengguyur selama beberapa hari mengiringi petualangan kami saat itu. Saya dan teman-teman dari Mapala Universitas Pelita Nusantara (UPN) Kediri berniat tuk melakukan penanjakan. Kami mengendarai 3 kuda besi yang tentunya takkan meringkih karena hujan, dimulai dari kota Kediri menuju kaki Gunung Wilis. Gunung Wilis dikelilingi oleh 6 wilayah kabupaten yaitu : Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek. Oh ya, saat itu kami mendaki melalui daerah Nganjuk. 
          Air sungai meluap begitu deras dan warna airnya coklat kehitaman serta suara alirannya menggetarkan gendang telinga kami dari jalan raya yang dilalui. Di tempat penitipan motor sebelum penanjakan, kami dicegah oleh beberapa pemuda yang mengatas-namakan Perhutani. Mereka mengatakan bahwa untuk sementara penanjakan ditutup karena hujan yang lebat dan ada longsor. Ya, memang terlihat dari air sungai yang meluap begitu derasnya. Perdebatan yang alot terjadi selama beberapa saat, mereka merekomendasikan agar kami membatalkan penanjakan tetapi teman Mapala mengatakan bahwa mereka sudah sering nanjak ke gunung ini dan hafal dengan medannya. Dengan sedikit kengototan kami, akhirnya pemuda Perhutani itu menyarankan agar kami membuat surat pernyataan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka nantinya mereka takkan bertanggung-jawab. Kami pun menyatakan iya dan memenuhi surat pernyataan itu.


Patung Jenderal Sudirman dan Pejuang Merencanakan Serangan

          Rasa senang menyelimuti pikiranku karena kami jadi tuk menanjak tapi rasa cemas dan khawatir turut menyertai karena memang cuaca yang tak terlalu bersahabat saat itu. "Dahulu kala Gunung Wilis ini pernah dilalui Jenderal Sudirman sebelum melakukan Serangan Sebelas Maret ke Yogyakarta dan biasanya para pendaki kini menyebutnya Tapak Tilas" terang DW, salah seorang Mapala UPN yang memimpin penanjakan kami.
Rintik-rintik hujan seakan-akan ingin terus menemani kami yang membuat awal penanjakan bertambah lebih berat. Belum juga setengah jam penanjakan nafas saya terengah-engah karena trek yang menanjak tajam. "Ko trek nya naik terus ya Mar" seru saya kepada Damar -kawan yang mengajak saya mendaki Gunung Wilis-. "Iyalah bang namanya juga nanjak" sahut Damar sambil tertawa. Entah kenapa saya berpikir penanjakan kali ini terlalu berat, sepertinya tubuh saya terkena efek kejut. "Makannya kecilin tuh perut bang" sentil Damar. "Dulu saya sering olahraga Mar dan perut tak sebulat ini" alibi saya kepadanya, padahal memang akhir-akhir ini saya sering kuliner-an dan selalu tergoda untuk mencicipi makanan baru dari berbagai daerah. 
         Pukul 6.30 sore hari, kami tiba di pos 1 itu artinya kami sudah bejalan selama satu setengah jam. Cahaya headlamp kami menembus gelap menerangi jalur setapak yang kami lalui. Terlintas dalam benak saya bagaimana dulunya para pejuang harus melalui jalur ini tuk melakukan serangan, sungguh perjuangan yang super duper melelahkan. 
         Setapak demi setapak kaki ku meninggalkan jejak sama seperti mereka yang dahulu menjadi pejuang dan melewati jalur itu. Tiba di pos dua setelah menambah waktu jalan selama satu jam lagi. Segera bergegas menuju pos tiga tempat kami akan mendirikan tenda disana. "Ayo nanti kita bisa minum kopi sambil menikmati pemandangan kota Kediri dan Nganjuk" seru Damar memberi semangat. "Sepertinya kita tak bawa kopi deh" Bety -salah satu wanita yang ikut mendaki- menimpali. "Waduh, jangan-jangan lupa dimasukan ke dalam tas tadi" sesal Damar.
"Tapi kita bawa susu ko" seru Endang - salah dua wanita yang juga ikut mendaki-. Bety dan Endang adalah teman Damar dan mereka wanita tangguh yang suka naik gunung. "Ya baiklah tak ada kopi, susu pun jadi" Damar mencoba membuat pribahasa.
Percakapan yang menemani kami diselengi canda tawa membawa kami tiba di pos 3.

Saat Tiba di Pos 3

Bety Menikmati Cahaya Lampu Kota Kediri


              Disana saya melihat ada sebuah arca, tersusun dari batu-batu. Betul saja kami bisa menikmati indahnya lampu-lampu kota Kediri dan Nganjuk, it's amazing guys.. Menatap keindahan itu sambil ditemani susu serta berbagi pengalaman bersama kawan sepenanjakan itu "sesuatu" banget, ya sesuatu yang harus dirasakan sendiri oleh tiap pribadi yang suka berpetualang.

Ketika Sunrise Tiba

Sang Surya Yang Menyinari Bumi


        "Sunrise bang, sunrise" teriak Damar yang seketika menyadarkan saya dari tidur. Sinar sang surya perlahan memberikan kehangatan ketika saya keluar tenda. Sinar jingga dari kejauhan menempel diwajah saya dan asap keluar dari mulut seperti seorang yang sedang menghembuskan asap rokok. Ternyata ada 4 orang kawan Mapala UPN yang menyusul kami dan tiba jam 2 malam. Sarapan kami persiapkan tuk menuju puncak. Yang menjadi kebiasaan unik para Mapala adalah kebersamaannya, hal itu terlihat ketika hidangan sarapan dituang diatas seutas daun pisang dan kami bersembilan menyantapnya bersama.


Arca


Menikmati Pemandangan Dari Tempat Nge-camp

Beginilah Pemandangannya Saat Itu


Ingat-ingat ya Guys..!!





Area Camp

Pos Sekartaji
















Tubuh tak lagi menunduk tuk menggapai puncak, tapi harus berdiri tegak mengadapi turunan licin. Tak jarang kaki saya terpeleset sehingga bokong menyentuh tanah berulang kali. Waktu tuk turun tak selama saat nanjak, well usaha yang keras tuk mencapai puncak berbanding terbalik saat turun.
Jika ditotal nanjak dari kaki gunung hingga tempat nge-camp butuh tiga setengah jam dan dari tempat nge-camp sampai puncak butuh waktu tiga setengah jam juga, jadi total adalah tujuh jam. Apabila turun dari puncak ke tempat camp, dua jam dan dua jam tambahan hingga kaki gunung.

Trek Menuju Puncak Beserta Kabut

Akhirnya Sampai Puncaknya 
Puncak Limas 2300

             Ternyata di Gunung Wilis banyak dijumpai air terjun, ada yang tinggi dan pendek, sumber air yang tak terbatas terlebih saat musim hujan, tentu volume airnya bertambah banyak. Saya sadari pula ternyata banyak trek disana yang tak kurang dari satu meter sebelah kiri atau kanan adalah jurang, jadi harus ekstra hati-hati.

         Bersama alam kita bisa belajar kehidupan, mencapai puncak tidaklah mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Menunduk dan melangkahkan kaki step by step. Tetap jaga harapan tuk suatu tujuan. Bukan perkara bisa atau tidak bisa, tapi lebih kepada mau atau tidak mau untuk menghadapinya. Saat turun, sering kali jatuh atau terpeleset tapi harus bangkit tiap kali jatuh dan berdiri tegak. Khawatir, takut, keputusasaan, letih, amarah, dsb adalah bagian dari proses-proses tersebut.