Kamis, 03 Desember 2015

kemcer di Kaki Gunung Salak - Cidahu

Kereta pagi dari Depok saya tumpangi, dan hanya berselang 45 menit sudah sampai di stasiun Bogor. Saya yang tiba lebih dahulu, harus menunggu satu persatu ketujuh personil yang lain, yang lengkap 2 jam kemudian. Andis yang sebagai seksi repot bernegosiasi dengan salah satu supir angkot Bogor agar mau mengangkut kami langsung ke Cidahu, Sukabumi. Kira-kira 2 jam kami meringkuk di dalam angkot hijau itu hingga sampai di gapura Gunung Salak. Tiket masuk per orang hanya 5 ribu dan kami mengikuti papan petunjuk jalan arah camping ground. Tak sampai setengah jam kaki kami melangkah, sudah ketemu tempat camping ground yang harus melewati jembatan bambu sebelumnya. Tapi kami tak berniat mendirikan tenda disana, kami beranjak sedikit lagi memasuki hutan hingga menemui sepetak tanah yang cukup untuk berkemah, dikelilingi pohon-pohon damar yang menjulang tinggi. 5 orang kawan membawa hammock dan membentangkannya, tapi agak kesusahan karena diameter tiap pohon damar yang besar sedangkan tali hammock tak seberapa panjang. Aktifitas kemping ceria apalagi jika bukan masak-masak, main game dan leyeh-leyeh. Memang si Andis yang menjasi seksi repot sudah membawa potongan ayam ungkep untuk digoreng, senangnya jika ada orang yang seperti Andis ikut, kebutuhan perut terpenuhi. Satu hal yang baru saya coba ketika kemcer itu, mencicipi marshmallow yang dibakar. Marshmallow itu sendiri adalah makanan ringan yang teksturnya seperti busa yang lembut, rasanya manis dan kenyal dimulut, jika dibakar langsung gosong tapi menciptakan perpaduan manis dan pahit yang pas di lidah. Sehabis santap malam selesai, permainan kartu menjadi pilihan terbaik, melewati malam dengan canda tawa sebelum menikmati tidur malam dibawah pohon damar.

Basah-basahan di Bawah Air Terjun

Suara langkah pengunjung yang  lewat membangunkan kami satu persatu, maklum tempat kami mendirikan tenda adalah jalur menuju salah satu air terjun yang ada di sana. Karena penasaran dengan air terjunnya, saya pun menghampirinya.
Air terjun nya tak terlalu tinggi tapi debit airnya bisa dibilang tak ada habisnya apalagi saat itu masih musim kemarau. Langsung saja saya mencicipi segarnya air terjun, mencuci muka sambil berdiri tepat dibawah air terjun hingga membasahi seluruh badan.

Sarapan Ala Kemcer

Puas basah-basahan dan kembali ke tenda, saat itu Andis sudah menyiapkan sarapan buat kami makan, duuhh baik bingit bukan si broohh yang satu itu. Bukannya berkemas dan siap-siap pulang, kami satu persatu malah melanjutkan leyeh-leyeh di hammock yang masih terpasang dan di matras. Kapan lagi kami bisa leyeh-leyeh di kelilingi pohon damar yang harum dan segar.

Lazy Time (Again)

Kemping ceria bersama kawan menjadi salah satu alternatif kegiatan alam yang ringan, murah, menyenangkan, dan juga sehat.


Rame-rame

Ciaaooo....

Jumat, 20 November 2015

Kemping Ceria Gunung Pancar

Belum punya rencana apapun saat weekend menjelang, saya lantas mengumbar pesan ke beberapa kawan yang biasanya punya trip kesana kemari. Gayung pun bersambut, kawan lama mengajak kemping di sekitaran Bogor. Gunung Pancar menjadi destinasi kali itu. Niken beserta suami nya Bewok menjadi list kawan yang berangkat dan berjambah si Edjie di saat-saat terakhir. Tentu saja saya lebih senang ada penambahan kawan daripada hanya sepasang suami istri muda yang ikut kemping (bisa dianggap pengawal mereka nantinya). Terik matahari di sabtu siang itu menjadi peneman perjalanan, saya menunggu Edji di terminal Kp.Rambutan dan mengisi jok belakang motor yang saya kendarai. Niken dan Bewok yang hampir kehabisan gaya, menunggu kami di perempatan jalan arah Jungle Land. Dari perempatan itu , kami menuju timur dan sekitar 30 menit kami tiba di gapura Gunung Pancar. Matahari sudah meredup saat kami tiba di sana, penjaga menghentikan kami tuk menarik retribusi masuk.
Untungnya pengurus wisata Gunung Pancar masih ada di kantor nya, sehingga kami masih semoat mengurus perijinan dan retribusi untuk kemping. Setiap orang dikenakan biaya 50 ribu, jika ingin menggunakan tenda sewaan maka akan dikenakan biaya tambahan sesuai dengan kapasitas tenda.


Saat itu pengunjung yang datang terbilang sepi, kami saja awalnya hendak mendirikan tenda di Ground A. Tapi karena sepi dan baru saja disewa untuk suatu acara maka sampah banyak bergeletakan. Akhirnya kami ke lokasi kemping Glamor, tak jauh dari gapura. Di sana sudah berdiri tenda, yang dipergunakan untuk tenda keluarga dan dilengkapi dengan asesori lampu warna-warni. Agar tidak mengganggu, kami mendirikan tenda agak menjauh dari tenda itu.
Pohon pinusnya tinggi-tinggi dan rapat antara pohonnya, jika angin bertiup agak kencang, terdengar dengan jelas gemericik ranting bahkan tak jarang ranting yang sudah kering jatuh ke bumi. Saya berniat tidur di hammock tapi hanya bertahan sekitar 30 menit, karna badan tak biasa tertekuk di bentangan kain yang diikat di dua pohon. Akhirnya hommock saya lepas dan jadikan alas tuk tidur. 



Pagi Menjelang

Matahari Muncul
SangSurya Telah Tiba
Bias Sinar Sang Surya

Sang surya yang masih muncul dari timur menyapa wajah saya dengan sinarnya. Walau tehalang awan tebal tapi tetap menghangatkan. Aktifitas  kemping dilanjutkan dengan memasak untuk  mengisi kebutuhan perut. Serasa tak ingin beranjak, saya melanjutkan menggeletakkan tubuh di matras dan berleha-leha lagi. Hal yang menurut saya menyenangkan, menghabiskan waktu bermalas-malasan ditemani suasana alam yang sejuk.


Perlengkapan Kemping

Double Hammock

Pohon Pinus - Tinggi dan Rimbun-
























Senin, 02 November 2015

Seaworld - Nostalgia Puluhan Tahun Yang Lalu

Sabtu itu saya tak ada ide dan tak ada rencana hendak kemana.
Entah ada angin apa, salah satu teman saya memberi chating-an dan bercerita bahwa seaworld baru dibuka kembali setelah ditutup satu tahun lamanya. Dengan sigap saya menaggapi obrolan itu karena entah kapan saya terakhir kali datang ke seaworld dan penasaran dengan bentuknya saat ini.
Avia - begitu biasa dia dipanggil, dengan cepat kakinya melangkah begitu kami turun dari busway, setara dengan kecepatan atlet jalan cepat. Untuk bisa mengerjarnya, saya pun berjalan lebih cepat lagi.
Melewati gerbang Ancol, harus menggelontorkan uang 25rb per orang agar bisa diperbolehkan masuk. Karena jarak dari gerbang Ancol ke Seaworld lumayan jauh dan bisa menambah keringat di baju, kami menunggu bus Wara Wiri yang bisa mengantarkan pengunjung di seputar kawasan Ancol. Tiket pass harus ditukarkan dengan harga 90 rb per orang, sama seperti di Dufan ketika masuk akan ditempelkan cap sebagai tanda sudah membeli tiket.
Arwana Merah

Pertama tama saya langsung disuguhi akuarium berisi ikan arwarna yang berwarna merah, dengan kumis yang melambai-lambai dan gigi nya runcing. Diseberang nya ada akuarium berisikan ikan air tawar, seperti ikan bawal, lele, dan mujair. Heran nya saya ukurannya yang besar, apalagi lele besar yang berkumis panjang dan tebal, huaaahh kalah donk Mr.Tukul.
Akuarium seperti milik pribadi, ditempati oleh si pemalu Dugong, yang senang bersembunyi dipinggir atas akuarium.

Lele Jumbo, Kumisnya Juga Jumbo

Si Pemalu Dugong

Akuarium Berbentuk Mobil

Akuarium Telepon Umum

lebih lanjut saya berkeliling, mengamati ikan-ikan yang banyak jenisnya dan mengingatkan saya pada masa kecil dulu ketika berkunjung ke sana. Tapi sayangnya ketika memasuki lorong akuarium, seingat saya ada fasilitas eskalator berjalan, dan saat itu sudah tak berfungsi lagi. Sayang sekali memang, padahal eskalator itu yang masih terngiang-ngiang dalam benak saya jika berkunjung ke Seaworld. Tak lama berselang, ada pertunjukan pemberian makan untuk ikan-ikan oleh dua orang penyelam.

Waktunya Ikan-ikan Makan

Dua orang penyelam itu memutar-mutar umapan makan kepada ikan pari, sehingga ikan pari itu berputar-putar layaknya seorang penari di dalam air. Anak-anak yang berkunjung bersorak sorai menikmati atraksi tersebut, ada pula yang melompat-lompat dan berdadah ria kepada kakak penyelam. Hhhmmm mungkin saya pun dahulu seperti itu, seperti melihat nostalgia puluhan tahun yang lalu.


Kamis, 10 September 2015

Garut lagi - Gunung Guntur

Gerimis sore itu menimbulkan khawatir akan adanya hujan lebat, tapi selang seperempat jam rintik dari langit itupun tak ada lagi. Segera saja saya mengemas pakaian dan peralatan yang dibungkus ke dalam tas gunung. Tak butuh waktu lama menuju meeting point dari tempat saya tinggal, hanya butuh tiga puluh menit saya menggunakan angkutan kota. Sudah ada Amanda -wanita tomboy tapi tercantik dalam grup- yang sampai terlebih dahulu. Langsung saja saya sapa dan bertukar kabar. Tak lama Pandu muncul dan memperkenalkan dirinya ke saya, kami baru kali itu bertemu. Ada dua orang lagi yang kami tunggu, Hardi dan adiknya- Raka yang muncul satu persatu.
Kursi di dalam bus jurusan Garut menjadi sandaran dan tempat memejamkan mata kami selama 4 jam. Sebuah mini market dekat pom bensin menjadi patokan kami turun. Sebuah mobil pick up hitam entah sedari kapan berjaga-jaga dan sedetik kemudian sang supir menawarkan jasa antar ke kaki Gunung Guntur. "Ongkos perkelompok dihitung perkepala sepuluh ribu tapi minimal sepuluh orang" tawaran dari sang supir. Kami yang hanya berlima menyatu dengan grup lain yang berjumlah empat orang. Total sembilan orang dan menambah ongkos seribu per orang dari perjanjian awal. Tidak lebih dari dua puluh menit kami diantar sang supir hingga tempat registrasi pendakian. Kokok ayam belum ada sekalipun yang terdengar dan begitupun warga disekitar kaki gunung belum ada yang terbangun. Mau tidak mau kami menunggu hingga matahari terbit untuk meminta ijin pendakian pada sesepuh di daerah itu. Abah, begitulah beliau ingin dipanggil dan kepada dia kami meminta ijin melakukan pendakian Gunung Guntur dan hanya jaminan KTP tanpa ada pungutan biaya.

Perangkat Tambang Batu dan Pasir

Awal pendakian terpampang alat berat dan perangkat miniatur tambang, sepertinya pasir dan batu menjadi bahan tambang warga sekitar, truck pun ada yang lalu lalang mengangkut hasil gali-an. Pos di Gunung Guntur ada 3, dan dua setengah jam berjalan kami sampai di pos 3 itu. Biasanya sebagian pendaki menginap di pos 3 karna sumber air sudah dekat dan lebih aman dari tangan-tangan jail yang suka merobek tenda dan mengangkut barang-barang para pendaki. Tapi kami memutuskan tuk lanjut ke puncak 1 dan mendirikan tenda disana. Inilah awal perjalanan yang berat, gemes dan pedes.

Pos III

Berat karena jalur nya licin karna kerikil, gemes karna ketinggiannya terbilang pendek (2249 mdpl), dan pedes karna hanya ada tanjakan tajam tanpa ada bonus. Benar saja apa yang dikatakan Abah sebelumnya, bahwa "gunung ini kecil-kecil cabe rawit", barulah saya sendiri memahami pesannya itu setelah menuju puncak 1. Sering kali pendaki teriak "awas batu" dan kami mengulang teriakan itu, seperti di pelm 5 cm saat adegan naik ke puncak Semeru. Otot kaki dan paha saya terasa kaku sehingga seringkali saya berjalan seperti spiderman alias merangkak, mengaktifkan kedua tangan mendaki tanjakan terjal itu. Wiihh, tak kurang dari 3 jam kami bersusah payah mencapai puncak 1 gunung itu, lebih lama daripada melewati ketiga pos sebelumnya.

Trek Menuju Puncak 1

Ternyata setelah sampai dipuncak 1, terlihat kawah di sebelah selatan dan puncak 2 kearah barat. Tenda segera kami dirikan dan santapan perut disiapkan Amanda -untungnya nona yang satu ini bisa masak-.
Malam hari kabut turun dan menghalangi pemandangan kami tapi begitu kabut hilang pertunjukkan gemerlap bintang tak bisa ditutupi lagi, bulan pun saat itu tak mau kalah menunjukkan keistimewaannya (saat itu bulan terlihat bulat penuh dan berwarna merah). Lagi asik-asik nikmatin pesona malam, ada suara dari semak-semak dan seketika itu juga muncul babi hutan. Amanda yang melihat penampakkannya langsung secepat kilat masuk kedalam tenda sambil teriak khas wanita alaay, saya hanya cekikikan melihat aksinya, hihihii. Padahal sebelumnya Abah sudah mengingatkan bahwa masih banyak babi hutan berkeliaran dan hanya perlu senter untuk mengusirnya, karna babi hutannya sudah jinak.
Mentari pagi belum juga muncul tapi keempat kawan saya sudah siap-siap menyaksikan sinarnya, saya mah masih asik meringkuk dalam tenda dan terpaksa bangun karna terikkan si Amanda. Berdiri di atas lautan awan sambil sinar orange menerpa wajah dan berimajinasi seakan-akan berenang di segumpalan awan. Entah karena efek nonton doraemaon dari kecil, rasanya mau pinjem baling-baling bambu buat bisa bermain di awan, hehehe.

Sunrise Pagi Itu

Nah, saat turun Gunung Guntur pun ga kalah pedesnya, turunan tajam plus ga ada pegangan. Jalur turun banyak digenangi batu kerikil, bahkan bukan banyak lagi tapi genangan kerikil. Saya yang hanya memakai sendal gunung, hanya bisa menahan tajamnya kerikil yang menyelinap ke kaki. Jangankan pakai sendal, pendaki yang pakai sepatu saja beberapa kali sibuk menyingkirkan kerikil yang masuk ke sela sapatu. Rasanya turun saat itu seperti main ski di mall TA, meluncur dengan kaki sambil nahan berat badan, jika tidak bisa menyeimbangkan berat badan alhasil bokong akan mendarat ke batu kerikil.

Kota Garut, Dilihat Dari Atas

Personil Lengkap
Bersihin Sepatu Dari Kerikil Yang Membandel

Terkadang jika turun, hasrat mau buru-buru sampai memang bertambah, mungkin itu yang dirasakan Amanda. Di saat itu juga, kecepatan langkahnya terhenti karna terjatuh bahkan sampai dua kali. Masih cukup untung karna tidak harus gotong dia, wanita yang satu ini memang tangguh.
Sesampainya kami di tempat Abah, segera saja membersihkan badan yang berdebu dan bau keringat. Sudah ada mobil APV yang nangkring dan berhasil kami nego 12 rebu per orang tuk mengantarkan kami ke terminal Garut.

See ya n salam adventure.


NB : 
- Sebaiknya menggunakan sepatu jika tidak ingin kerikil menyelinap di sela-sela kaki
- Jangan lupa bawa masker, karna debu nya banyak bingit apalagi jika musim kemarau
- Mohon jangan pakai sabun atau sampoo di sumber air, kasian kan pendaki lain yang menggunakan sumber air buat minum
- Bawa sampah turun ya guys, jangan ditinggalin diatas atau dibuang sembarangan di sepanjang trek
- Jangan mengambil vegetasi, jika mau ambil saja gambar sebanyak-sebanyaknya



























Sabtu, 23 Mei 2015

Trip Dadakan - Menapah Matahari di Gunung Batu

Matahari tepat berada di atas kepala saya, sinar nya yang menyengat tak menghentikan laju sepeda motor yang saya kendarai. Menyusuri jl.Raya Cileungsi, debu jalan dan asap kendaraan bermotor seakan menjadi teman perjalanan yang lekat ke tubuh saya. Saya menepi di depan gerbang taman Mekarsari tapi bukan tempat itu yang saya tuju, melainkan warung kopi yang berada di pinggir jalan. Secangkir kopi hitam yang saya pesan dari warung menyegarkan mata yang terasa redup.
Tiga orang kawan saya baru saja tiba setelah saya selesai menyeruput kopi hitam. Segeralah kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan raya Jonggol/Cariu. Kelak kelok jalan dan kerusakannya seakan tak terhitung. Saya berkali-kali menghentikan sepeda motor seraya bertanya pada orang dipinggir jalan kemana arah Gunung Batu. "Masih jauh, lurus ikuti jalan saja" begitulah jawab salah satu orang yang saya tanya. Setelah saya melihat dari kejauhan sebuah tanah yang menjulang tinggi, barulah tersadar bahwa itu tempat yang kami tuju. Gunung Batu itu terletak di Desa Mengker, Jonggol. Sesampainya di kaki gunung, motor yang kami tunggangi dititipkan di sebuah warung dengan upeti Rp.15.000 . Saat tiba, waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Langsung saja kami berempat (duplikasi EFSE); saya, Angky, Ryo, dan James melangkahkan kaki mengikuti jalur yang sudah terlihat jelas. Belum ada seperempat jam saya mendaki, napas sudah setengah-setengah maklumlah karna perutku dulu tak begini tapi kini tak kempes lagi.. Di sepertiga jalan sudah ada tenda jadi-jadian yang menjajakan minum dan cemilan, jadi bagi pendaki yang tak membawa bekal minum dari bawah tidak perlu kawatir kehausan. Beberapa jalan yang terjal sudah disediakan tali untuk bisa berpegangan, jika ada pengunjung yang naik harus bergantian dengan pengunjung yang sedang turun dalam menjamah tali tersebut.

Narcis Dengan Latar Gunung Batu
Ini Trek Awalnya
Tali nya Sangat Membantu 
Gantian Naik-Turun

Belum saja kami tiba di puncak Gunung Batu, matahari sudah menghilang dari jangkauan mata. Tapi sunset saat itu adalah salah satu sunset terindah yang pernah saya lihat. Meskipun matahari sudah terbenam, kami tetap melanjutkan ke puncak. Saat di puncak, melihat sekeliling membuat bulu kudu saya berdiri karena keindahan dari sang Pencipta dan kaki gemetaran karena jalur terjal sesaat sebelum tiba di puncak itu. Dari atas terlihat daratan dibawah yang masih hijau dan beberapa bukit yang menjulang. Sudah ada 3 bendera merah putih yang tertancap di puncak dan memoriam salah satu pengunjung yang tewas sebulan lalu.

Melihat Kebawah

Hijau bukan?
Sunrise-nya Broooohh
Menapah Matahari

Hari mulai gelap dan kami tidak berlama-lama berada di puncak itu tapi ada sekawanan pengunjung yang lain mendirikan tenda hendak bermalam. Tak ada satupun diantara kami yang membawa senter tapi untung saja Angky punya HP yang bisa berfungsi sebagai senter. Napas lega bisa kembali ke warung di kaki gunung tempat kami menitipkan motor. Karena trip ini merupakan trip dadakan, alhasil persiapannya pun dadakan tetapi kami tak menyesal karena perjalanan dan pemandangannya yang mendadak membuat kami terpukau.

Plat Puncak Gunung Batu

Berkibarlah Merah Putih

Ciaaooo...

Jumat, 06 Maret 2015

My Trip My Journey - Leuwi Liyet dan Leuwi Cipet

Jakarta memiliki kota-kota penyangga disekitarnya seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Kota-kota penyangga itu pasti memiliki sesuatu yang bisa dieksplore seperti tempat wisata ataupun kulinernya. Nah, edisi kali ini saya mencoba mengeksplore wisata di daerah Bogor yang mulai ramai dikunjungi yaitu Leuwi Liyet dan Leuwi Cipet. Letaknya berada di kampung Wangun Cileungsih Desa Karang Tengah, kecamatan Babakan Madang, Sentul, Bogor. Saya dan seorang teman bernama Soleh, tiba di sana pukul 8.30 WIB. Lalu seseorang mendekati kami dan mengatakan bahwa tiket masuk biayanya Rp. 10.000, uang sudah kami berikan tapi kertas karcis yang orang itu katakan tak muncul juga dan hanya bergegas menjauh. 

Di sekitar tempat parkir, sudah ada beberapa warung

Di tempat penitipan motor itu, sudah ada beberapa warung yang menjajakan makanan, "ngopi dulu nih!" Seru Soleh, "boleh" timpal saya atas ajakannya. Melalui perjalanan memberikan kami peluang tuk bersosialisasi dengan siapa pun, termasuk dengan pemilik warung saat kami memesan kopi. Beliau menjelaskan bahwa Leuwi Liyet dan Cipet baru-baru ini saja terkenal sekitar 5 bulan yang lalu, awalnya hanya "bule-bule" saja yang datang dan belakangan penduduk lokal se-Jabodetabek mulai berdatangan. Dalam benak saya, kenapa sering sekali justru orang asing yang lebih dahulu mengeksplore kekayaan alam negeri ini ya. Setengah jam berlalu, seketika itu juga kopi dan obrolan dengan pemilik warung kami sudahi.

Start Perjalanan
Hijau toh?
Penunjuk Arah
Soleh Manunjukkan Arah Jalan

Melewati jalan setapak, disuguhi pemandangan akan hijaunya alam dan udara yang menembus ke dalam paru-paru terasa segar. Petunjuk jalan terpampang masih dibuat seadanya, bahkan ada yang hanya dilaminating dan ditempel di pohon. Setengah jam perjalanan, kami berjumpa dengan 3 orang laki-laki yang sedang memacul trek yang akan kami lalui. Kami bertegur sapa dan salah satu dari mereka meminta retribusi karcis sebesar Rp. 10.000 per orang. "Wah, tadi sudah mas kami bayar ditempat parkir itu" bantah saya atas tagihan liar itu. "Yang itu hanya untuk Leuwi Hejo dan Curug Barong yang ada di bawah, klo mau ke Leuwi Liyet dan Cipet beda lagi", jawabnya.
Sepertinya karna tempat itu sudah tenar, sehingga membuat penduduk disana "sadar" akan uang. Akhirnya tawaran pun kami ajukan, kami berikan Rp 10.000 tuk 2 orang dan merekapun menerima agak terpaksa. Saya pun sebenarnya memberikan agak terpaksa, karna lagi-lagi tak ada kertas karcis yang kami terima, mungkin bisa dibilang retribusi liar atau upah capek karna sudah membuat trek nya lebih jelas. Tak berapa jauh dari retribusi liar itu, kami tiba di Leuwi Cipet.

Leuwi Cipet

Sejenak berpikir bagaimana kami bisa melewatinya, karna telaga itu terlihat agak dalam dan sekitar 50 meter panjangnya. Melihat sekeliling, ternyata ada jalan setapak di sebelah kiri telaga dan kami harus mendakinya. Jalan mendaki membuat keringat saya sedikit bercucuran dan napas yang terpengal-pengal. Tak jauh memang trek mendaki itu tapi cukup membuat baju saya basah karna keringat.
Terlihat dari kejauhan sebuah telaga lagi dan itu pastinya adalah Leuwi Liyet. Kami penasaran dimana air terjunnya karna tidak terlihat, tapi air terus mengalir beserta suaranya.

Di Balik Batu Itu

"Dimana air terjunnya bro?"tanya saya kepada Soleh, "mungkin ada dibalik batu itu bro", jawabnya. Itu artinya kami harus berenang tuk melihat air terjun Leuwi Liyet. Segera saja kami meletakkan barang bawaan dan melucuti baju. Byurrr, airnya segar dan jernih, pokok nya mantaplah. Benar saja, setelah kami berenang dan melihat dibalik batu besar, terlihat air terjun itu. Ingin rasanya menggapai air tejunnya tapi apa daya tangan tak sampai. "Lompat bro", Soleh mencetuskan ide tuk melompat dari atas batu, "ayo, kenapa nggakk" seraya menerima tantangannya. "My Trip My Journey" adalah kalimat kesepakatan sebelum kami melompat dan mengatakannya dengan lantang. Tak hanya sekali kami lompat tapi berkali-kali dengan berbagai pose, bisa dibilang seperti anak kecil yang punya mainan baru, main dengan riangnya.

 Bersiap Loncat
My Trip My Journey
Soleh Dengan Atraksinya


Lelah loncat-loncatan, kami menyantap pisang goreng yang dibeli dari warung di tempar parkir tadi. "Untungnya beli pisang goreng tadi" seru Soleh, "iya, lumayan buat isi perut" timpal saya. Oh iya, karna saat itu cuma saya dan Soleh yang ada di Leuwi Liyet, jadilah telaga itu seperti milik kami berdua. Nilai plus yang lain yaitu masih bersih dan alami tapi tidak tahu kedepannya bagaimana jika para pengunjung tidak sadar tuk menjaga keindahannya.

Menyusuri Sungai

Mengenakan kembali baju dan bersiap tuk menyusuri aliran air menuju hilir. Ketika kami menyusuri tepian sungai, ternyata akan tiba di Leuwi Cipet. Berarti jika kami tadi berenang melewatinya, tidak perlu ngos-ngosan melewati trek yang mendaki tapi konsekuensinya pakaian dan mungkin juga tas kami akan basah. Disana kami berjumpa 2 orang pemuda yang sama dengan kami ingin menikmati suasana alam nan segar itu. "Lho, kalian tadi lewat mana bisa sampai seberang telaga ini?" tanya Soleh kepada mereka. "Oh, kami berenang" jawab salah satu pemuda itu. Dia mengatakan membungkus barang bawaan dengan fly sheet lalu mendorongnya sambil berenang. Wah, sayang nya kami tidak bawa fly sheet dan tidak tahu juga akan menghadapi hal macam ini. Mereka menawarkan fly sheet nya tuk kami pinjam, "nanti kembalikannya bagaimana?" tanya saya, "saya akan ikut berenang melewatinya" tawaran yang diberikan. Baik sekali pemuda itu dan dengan senang hati kami menerima bantuannya dari pada harus kembali lagi dan melewati trek mendaki sebelumnya. Leuwi Cipet pun terlewati dan kami melanjutkan menyusuri aliran sungai selepas untaian terima kasih pada pemuda yang baik hati itu. Bongkahan batu besar dan kecil menghiasi jalur air, kami berhati-hati memilih pijakan kaki. Kami harus berhenti pada suatu titik yang tidak bisa dilalui mengikuti aliran air karena kecuramannya.

Panjang Nih Obrolannya

Memutuskan tuk mengikuti trek memutar yang sudah ada. Ditempat penarikan retribusi liar yang kami lalui sebelumnya, 3 pemuda itu sedang beristirahat dipendopo ala kadarnya. Karna berjiwa petualang tinggi, kami berhenti sejenak dan berbincang-bincang dengan mereka. "Bagaimana tempatnya?" tanya kang Awe (salah satu nama pemuda itu), "mantap kang" jawab kami serentak. "Sampai tidak ke Leuwi Liyet?", beliau menambahkan pertanyaan, "sampe donk", Soleh menjelaskan, "nih ada foto-fotonya" sambil memberikan buktinya. Kang Awe menjelaskan bahwa Liyet itu artinya bengkok, air terjunnya berbelok. Oh, ternyata begitu toh sehingga beberapa orang menyebutnya Curug Bengkok. "Pohon yang dibawah tadi, buahnya bulat warna coklat itu pohon apa kang?", tanya Soleh dengan penasaran, "itu namanya pohon Picung, buah nya beracun, klo mau dimakan harus diolah dahulu, direndam di air yang mengalir kurang lebih 2 hari lalu dijemur, dimasak baru bisa dimakan". Walah, repot ya mau makannya aja.

Loncat Lagi di Curug Barong

Pembicaraan yang menarik tapi harus kami sudahi karena masih ada Curug Barong dan Leuwi Hejo yang mesti disinggahi. Berdasarkan petunjuk yang terpampang di pohon, kami mengikuti jalan setapak itu hingga tiba di air terjun Barong. Tinggi nya lebih kurang 7 meter, kolam yang ada didekatnya tidak sebesar seperti yang ada di Leuwi Liyet. Tapi air terjunnya bisa digapai, saya dan Soleh mencoba pijatan dari air terjun itu. Disini pun kami dengan riang meloncat loncat bergantian. Hampir dua jam kami berada di air terjun itu sampai datangnya para pengunjung yang bergerombolan sehingga kami beranjak meninggalkan tempat itu.


Leuwi Hejo

Beralih menuju Leuwi Hejo yang berada di hilir, melewati jembatan bambu, baru-batu besar yang licin dan para pengunjung yang bernasis disana. Di Leuwi Hejo, tinggi air terjunnya sekitar 5 meter dan terdapat kolam yang lebar. Jika ingin meloncat harus berenang melawan arus air terjun itu, tapi untunglah ada tambang yang terbentang disana sehingga terbantu untuk mencapainya. Saya dan Soleh pun lagi-lagi mencoba melompat yang sepertinya menjadi ketagihan. Di Leuwi Hejo, pengunjung yang datang lebih banyak dari pada di Curug Barong, Leuwi Cipet ataupun di Leuwi Liyet. Mungkin masih banyak yang belum tahu atau tidak mau berkunjung ke bagian hulu, tapi setidaknya bagian hulu masih lebih terjaga kebersihannya daripada di bagian hilir ini. Beberapa bungkus makanan saya lihat di Leuwi Hejo itu, weleh weleh. Langit diselimuti awan mendung, sepertinya akan turun hujan sehingga saya dan Soleh bergegas kembali ke paraduan karena sudah seharian kami bermain-main di air. Satu hari yang basah, segar, dan fun.




Ingat-ingat !!

Sekilas info :
Seperti kebanyakan tempat wisata alam di negeri ini, jika sudah ramai dikunjungi maka ramai pula sampah yang ditemui ditempat itu. Kesadaran menjaga alam, hal itu yang harus ditingkatkan dari tiap pribadi pengunjung, bukan hanya menikmati keindahannya saja. Ingat jangan buang sampah sembarangan ya guys ;) ...