Jumat, 21 November 2014

Puncak 2821 mdpl, Cikuray

Edisi nanjak kali ini adalah di puncak Cikuray, Garut. Letaknya berdekatan dengan Gunung Papandayan yang setahun lalu saya daki. Lagi-lagi saya ikut trip nanjak bersama teman-teman dari BPI, dengan sebutan kelompok "Bikin Jejak". Kami yang jumlahnya 23 orang berkumpul di terminal Kp.Rambutan.
Tiba di terminal Guntur, Garut, setelah digoyang-goyang dalam bis yang melaju kencang selama 4 jam. Pagi itu pukul 6, kami menembus udara pagi yang dingin tuk melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung dengan menaiki truk. Saat menghadapi tanjakan ekstrim, truk yang kami naikki sempat terhenti bahkan harus mundur yang membuat beberapa kawan wanita harus berteriak, wuaahhhhww. Di tanjakan ekstrim selanjutnya, beberapa kawan termasuk saya harus turun agar mengurangi beban muatan truk. Kawan lain yang tidak turun saat tanjakan itu hanya tertawa bahagia saat melihat saya ngos-ngosan menaikki tanjakan, sialll tapi saya anggap pemanasan sih, hehee.

Titik Awal Pendakian


Menata ulang barang bawaan dan mengisi perut merupakan hal wajib sebelum memulai penanjakan. Setelah semua siap, kami memulai penanjakan  jam 8.15 WIB. Membelah perkebunan teh yang hijau dan sejuk sebagai trek awal yang harus dilalui menuju puncak Cikuray. Setelah kebun teh terlewati, yang ada hanya trek menanjak, menanjak, dan menanjak. 

Kebun Teh yang Sudah Terlewati

Menuju Pos 1

Menuju pos 1 saja rasanya sudah mau menyerah, tidak seperti gunung yang pernah saya daki sebelumnya, di gunung Cikuray butuh tenaga ekstra. Kira-kira 1,5 jam pendakian tiba di pos 1, baru sampai pos 1 tapi rasanya sudah lelah sekali. Bisa dipastikan karena trek nya yang menanjak membentuk sudut 60 derajat. Tak mau menyerah di pos 1, saya beranjak melanjutkan penanjakan. Nah saat menuju pos 4, tanjakannya lebih parah lagi hampir tegak lurus. Tak salah rupanya, ada seorang kawan yang mengingatkan sebelum penanjakan bahwa nanti akan merasakan dengkul menyentuh dagu. Saya mengerti maksudnya bahwa kaki harus diangkat setinggi-tingginya, jika perlu setinggi dagu. Huffftt memang trek yang berat, belum lagi akar-akar pohon yang melintang sepanjang trek membuat lintasan menjadi lebih licin, pokoknya epicc melelahkan banget. 


Tanjakan

Tanjakan Lagi


Akhirnya sampai di pos 6 sekitar jam 2 siang, itu artinya 6 jam perjalanan. Sebagian kawan berencana mendirikan tenda dan menginap di pos 6. Karena rombongan kami berpisah saat mendaki, ada yang melaju duluan dan ada yang ketinggalan maka sebagian ada yang sudah menuju pos 7 (pos terakhir di gunung Cikuray). Saya termasuk gerombolan yang ditengah dan menunggu kawan yang belum sampai di pos 6. Karena tidak tahan menunggu terlalu lama dan hanya berdiam saja, maka saya ingin menyusul kawan yang sudah menuju pos 7 seraya ingin memberitahu bahwa akan bermalam di pos 6. Saya dan 3 orang teman beranjak menuju pos 7. Ternyata perjalanan dari pos 6 ke pos 7 mengahabiskan waktu satu jam, lagi-lagi melewati tanjakan yang tiada hentinya. Setelah sampai dan bertemu teman yang telah sampai duluan kami memberitahu bahwa akan bermalam di pos 6, tetapi mereka sudah mendirikan tenda dan berencana akan menginap di pos 7. Hmmm logistis sepertinya tidak akan cukup untuk bermalam jika kami memutuskan menginap di pos 7 karena persediaan logistik dibawa oleh teman yang ada di pos 6. Akhirnya kami bertiga kembali ke pos 6 tapi satu orang tetap tinggal bersama 4 orang teman yang sudah sampai terlebih dahulu. Puncak sudah terlihat dari pos 7, untuk itu sebelum kembali ke pos 6, kami bertiga merangkak sedikit ke puncak sekedar melepas penasaran bagaiman bentuk puncak gunung Cikuray.
Bergerak turun kembali ke pos 6, saat sampai ternyata beberapa tenda sudah didirikan dan sedang masak tuk makan malam, asyikknya di masakin tinggal makan doank, hehee. 
Saat malam hari, saya dan kawan lainnya saling bergurau sambil bermain games kecil-kecilan serta berbagi kelucuan. Saat itu yang ada hanya canda tawa seakan-akan rasa lelah hilang begitu juga penat yang menghinggap di kepala. 
Meskipun keadaan diluar tenda masih gelap tapi kami harus bergerak tuk menuju puncak melihat matahari terbit. Udara dingin menusuk tulang saya membuat gigi seakan tak bisa berhenti bergetar, sehingga saya menutupi tubuh dengan jaket hangat dan melengkapi dengan sarung tangan serta penutup kepala. Setengah lima pagi kami bergerak menuju puncak,  baru kali ini saya naik ke puncak 2 kali setelah kemarin menyusul teman di pos 7. Oksigen yang sedikit membuat napas putus-putus dan terengah-engah.



Sun Rise-nya Malu-malu


Keindahan sinar matahari pagi seakan malu-malu karena gerombolan awan hitam yang membentengi sinar itu. Saat itu puncak Cikuray penuh oleh kawanan pecinta gunung termasuk saya. Sedikit kecewa karena "sun rise" yang tidak terlalu 'wah' dan 'wah' dengan ramainnya manusia yang memenuhi puncak itu. Baru kali itu saya mengalami naik gunung dengan puncak yang begitu ramai seperti pergi ke pasar tradisional.


Puncak Gunung Cikuray

Keramaian Puncak Gunung Cikuray


Puas menikmati puncak gunung yang ramai dan berfoto-foto, kami kembali ke pos 6. Makan sudah, membongkar tenda sudah, mengemasi barang bawaan juga sudah, saatnya kami kembali menuruni gunung. Pukul 11 WIB, saya dan kawan-kawan kembali menuju kaki gunung, kali ini melewati turunan, turunan, dan turunan, hahaa.. Tap tap tap, langkah kaki melangkah cepat dan semakin cepat melewati pos 5, 4, 3, 2, dan 1. Waktu yang saya butuhkan tuk turun hanya 1 jam 50 menit, saya sendiri terheran-heran bisa jauh lebih cepat dibandingkan saat naik yang butuh 6 jam. Mungkin karena saya mengikuti teman yang berjalan turun begitu cepat yang beberapa kali berlari kecil. Tak mau kalah sebenarnya karena salah satu dari 2 orang teman yang saya ikuti itu adalah wanita. Tapi saat di pos 2 menuju pos 1 dan melewati kebun teh, saya tertinggal jauh oleh wanita itu, woww dia sungguh kuat rupanya, huftt.
Tiba di titik awal, di kaki gunung, saya menggantikan lelah dengan menenggak air putih sebanyak-banyaknya, maklum persediaan air saya sudah habis saat di pos 2. Tak ada mata air saat berada di puncak gunung membuat saya dan teman-teman harus mengirit air, dengan kata lain naik gunung Cikuray itu susah airnya. Satu persatu kawan yang lain sampai di titik awal. Setelah lengkap 23 orang kami menaikki truk yang sudah menunggu kami tuk menuju terminal Guntur. Lanjut dengan bis menuju Kp.Rambutan dan berpisah menuju tempat masing-masing.
Usai sudah petualang saya dan kawan-kawan kali ini dalam edisi nanjak gunung Cikuray. 
See yaa..

Jumat, 31 Oktober 2014

Pemutusan Hubungan Kerja (7 Juli 2014)

       Sekitar 3 bulan lalu, saya mengalami sesuatu yang namanya pemutusan hubungan kerja. Entah itu bisa dibilang musibah atau kebalikannya yaitu rejeki. Saat itu saya bisa bilang hal itu adalah musibah tapi saya yakin bahwa suatu saat hal itu bisa dibilang rejeki. Seakan-akan refleksi dari buku yang pernah saya baca, -beberapa bulan sebelum pemutusan hubungan kerja-, judulnya "Jangan mau seumur hidup jadi orang gajian", by: Valentino Dinsi. Didalam buku itu ditulis bahwa suatu saat seorang karyawan PASTI akan berhenti menjadi karyawan, entah orang itu pensiun, resign, ataupun kena PHK. Nah hal itu terbukti juga pada diriku, sesuatu yang saya sadari bahwa buku itu telah memperingatkan. 
     Apakah saya kecewa?Sudah pasti, saya marah?ya, karena cara perusahaan melakukan pemutusan kerja dengan sepihak dan tidak sesuai prosedur UU tentang ketenagakerjaan meskipun alasan perusahaan adalah 'efisiensi'. Saya sedih?yup, karena bukan hanya saya yang terkena pemutusan  kerja, beberapa teman kerja yang lebih senior dari saya pun mengalaminya. Saya sedih bukan untuk diriku tapi lebih karena hal itu terjadi kepada senior yang sudah berumah tangga, punya anak-istri, tanggungan rumah dan kredit-an sana sini bahkan ada salah satu senior yang meninggal dunia setelah pemutusan kerja (mungkin tak bisa menahan beban pikiran sehingga terkena stoke). Saya senang?ada juga, karena sudah 6 tahun saya bekerja di perusahaan itu dan rasa bosan menghinggap di diriku, saya tak perlu repot-repot resign, toh ternyata jasa saya sudah tidak dibutuhkan perusahaan itu. Ibarat sampah bila sudah tidak terpakai akan dibuang begitu saja. Yup, perasaan yang campur aduk menghinggapi diriku.
      Bagusnya pengalaman pahit itu datang beriringan dengan masalah-masalah yang lain, bagaikan jauh ketimpa tangga plus ketiban kulit durian, hhmmm sedap betul rasanya. Mulai dari masalah percintaan, masalah pemutusan hubungan kerja, masalah keluarga, dan masalah keuangan datang silih berganti dan melengkapi puzle masalah itu. Ko malah dibilang bagus ya? Bagus, karena aku mengalami banyak hal dan bisa bertahan. Dalam benakku, jika aku jatuh ke dalam lubang/titik yang paling dalam, apakah mungkin aku bertambah jatuh?yang harus ku lakukan adalah bangun dan bangkit, bukan?. Terus terang sungguh sulit rasanya bertahan dalam keadaan seperti itu, tapi ternyata DIA telah membantuku melewati itu semua dan membuatku semakin kuat. Bertahan dalam keadaan sulit sambil mencari jalan keluarnya dan tetap berharap itulah kuncinya. Well, ujian hidup datang tanpa diketahui, yang harus aku lakukan adalah tetap bersyukur bukan hanya saat kebaikan datang tapi juga saat keburukan/kepahitan menghampiri. Aku masih bisa menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Itulah HIDUP... yang lalu adalah HIStory dan masa depan adalah Mistery.

Thanks GOD

Rabu, 09 Juli 2014

Kuliner Asyik

Hari ini (9 Juli 2014), bertepatan dengan pemilihan umum presiden Indonesia. Nah, ceritanya kali ini setelah saya mencoblos, saya pergunakan tuk menjajal kuliner di beberapa tempat.

Yang pertama adalah Kedai Kopi Es Tak Kie, berlokasi di daerah Glodok Kota. Memasuki gang sempit yaitu gang Gloria, ternyata menyimpan banyak kuliner termasuk Kedai Kopi Tak Kie. Kedai itu berdiri sejak 1927 hingga sekarang dan sudah dipegang oleh generasi ketiga yaitu pak Latif Yusuf atau biasa dipanggil Ayung. Saya memesan kopi susu panas di kedai itu. Begitu saya cicipi, rasa kopinya berbeda dengan kopi yang pernah saya coba, terasa agak sepat dilidah. Ternyata saat diaduk, susu yang ditambahkan dikopi itu membuat minuman itu menjadi lebih nikmat. Setelah saya bertanya kepada pak Ayung, kopi tersebut berasal dari Lampung. Racikan khas kopi itu tak serta merta diberitahukan oleh beliau, mungkin rahasia yang perlu dijaga. Kedai itu buka dari jam 7 pagi hingga jam 2 siang tiap harinya. Oh ya, harga kopi yang saya pesan hanya Rp 13.000,-. Pak Jokowi saja pernah bela-belain naik sepeda dari kantor Gubernur Jakarta hanya untuk mencicipi kopi di kedai ini, masa saya tidak sih.

Secangkir Kopi Susu Tak Kie

Yang kedua, tempat kuliner yang saya singgahi adalah Warung Pasta, berlokasi di Margonda, Depok. Dari luar tempat makan itu terlihat kecil dan sederhana, tapi setelah masuk terungkap tempat yang efisien, luas dan romantis, bahkan tersedia meja di lantai dua. Daftar menu yang disodorkan, membuat saya bingung tuk memilih karena banyak pilihan dan terlihat enak, ingin rasanya saya mencoba menu itu satu persatu. Akhirnya menu pilihan saya jatuh pada 'Creamy Tako'- pasta yang dimasak pake sauce cream, gurita, smoke salmon, tobiko trus + telur diatasnya, a heaven favorites. Harga hanya Rp18.000, - dengan porsi kecil.

Spaghetti 'Creamy Tako'

Yang ketiga, yang tak kalah menarik juga adalah Soerabi Bandung. Kuliner penutup ini masih saya nikmati di daerah Margonda, Depok. Makanan ini berbahan dasar kelapa, dengan bermacam varian toping yang berbeda. Ada toping coklat, keju, pisang, atau durian. Saya memesan 1 porsi Soerabi coklat spesial. Spesial karna ada tambahan cream manis. Saat saya coba, kelapa nya terasa sekali ditambah adonan yang lembut plus manisnya cream, membuat cita rasa yang sempurna. Hanya dengan harga Rp 13.000,- saya puas menyantap 1 porsi Soerabi itu. Well, 1 hari diisi dengan kegiatan icip-icip kuliner itu mengasyikkan sekali...

Soerabi Coklat Spesial



Selasa, 01 Juli 2014

Segarkan Pikiran di Pulau Pahawang

    Sejenak ku berpikir, kemana kah langkah kaki ku akan berjalan? 6 bulan lamanya saya tidak lagi jalan-jalan setelah terakhir ke Krakatau saat pergantian tahun baru kemarin. Kepala terasa berat dan jenuh, seperti ingin ku tumpahkan semua isi yang ada di kepala saat itu. Terlebih kejadian yang baru-baru saja ku alami yang membuatku luluh lantah. Hmmm, secepat kilat ku melihat salah satu web bagi pecinta jalan-jalan, dan akhirnya tercapai destinasi yang menjawab pertanyaan di awal tadi. Itu dia PAHAWANG yang menjadi destinasiku kali ini.

         Jumat sore, ku meloncat kedalam bus Arimbi tujuan Merak dari terminal Kp.Rambutan. Menyusuri jalan lebih kurang 130 km selama 4 jam. Duduk dibangku bus paling depan, membuatku leluasa melihat jalan yang dipadati oleh kendaraan besar dan kecil. Dihibur oleh lagu-lagu cinta para seniman jalan membuat hati bertambah sendu, aisshhh. Jam 10.30 malam saya tiba di pelabuhan Merak. Trip kali ini pun saya masih bersama anggota backpacker, yang lagi-lagi saya belum kenal satu pun orangnya. Begitu tiba di depan pelabuhan Merak, ada seorang wanita yang diam berdiri, tanpa pikir panjang saya langsung bertanya padanya, "trip Pahawang ya mba?" Dia pun meng-iyakan, seraya itu juga saya berkenalan dengannya, dia biasa dipanggil Mimin alias Mince. "Yang lain belum datang ya?", tanya ku padanya. "Saya juga baru tiba", jawabnya. Kami berbincang-bincang sambil menunggu teman satu trip yang lain. Menunggu satu jam lebih, akhirnya semua kawan satu trip sudah berkumpul yang totalnya 32 orang, hmmmm banyaknya.

         JATRA II, kapal laut itu yang membawa kami menyeberangi selat Sunda. Mengapung di perairan selat Sunda 4 jam lamanya, penyeberangan yang sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Ternyata akses jalan dari dan ke pelabuhan Bakauheni sedang dalam perbaikan, sehingga mobil-mobil yang hendak masuk/keluar pelabuhan harus antri panjang dan berimbas pada kapal laut yang harus menunggu giliran parkir di pelabuhan itu.

       
Perahu Sponge Bob, ber-kapten kapal pak Agus
Perahu ber-kapten kapal pak Ipin


         Begitu sampai di pelabuhan Bakauheni, Hani selaku Thread Starter (TS), sudah menghubungi pihak mobil jasa angkutan yang akan kami gunakan. 2 mobil APV dan 1 mobil Colt, mengantarkan kami selama lebih kurang 2 jam menuju pelabuhan Ketapang. Dari pelabuhan Ketapang, 2 perahu sudah menanti kami. Perahu 'Sponge Bob' ber-kapten kan pak Agus dan perahu satu lagi ber-kapten kan pak Ipin. 2 kapten kapal itu membawa kami ke spot snorkeling yang pertama, Tegal itu nama spot-nya, uppss bukan berarti sebuah warung yang sering dilihat dipinggir jalan itu lho, hehee. Tak kuasa menahan hasrat snorkeling (maklum sudah 6 bulan tidak nyebur ke laut lagi), saya langsung loncat dari perahu itu setelah beberapa saat jangkar diceburkan. Bagaikan tetesan hujan disaat kemarau = menyegarkan, itulah perasaanku saat itu. Kembali melihat ikan-ikan berkeliaran, terumbu karang dan keindahan laut lainnya, wooww senangnyaaaaa... Meskipun saya pernah melihat keindahan alam bawah laut yang lebih bagus di tempat lain, tapi kali ini berbeda karena rasa kangen ku terhadap laut dan pantai terbayar sudah. Pikiran yang awalnya kusut, perlahan-lahan mulai membaik saat snorkeling itu hingga saya keasyikan terus-terusan di dalam air. Setelah asyik snorkeling, kami berlayar ke penginapan di pulau Pahawang Besar. Adalah rumah Pak Herman yang kami jadikan homestay, kami ber-32 masuk dalam satu rumah itu, weleh weleh. Di Pahawang terbagi atas 6 dusun, yakni Suak Buah, Penggetahan, Jeralangan, Kelompok, Pahawang, dan Cukuhnyai. Di seputar pulau Pahawang, ada banyak pulau seperti, pulau Pahawang Kecil, pulau Gosong, pulau Kelagian, dan pulau Pahawang Besar.

Kapal Spong Bob 

Ikan Badut (Nemo), di spot snorkeling pertama

       Tak berapa lama setelah kami menaruh tas dan barang lainnya, kami segera menaikki perahu tuk snorkeling lagi. Beralih ke spot yang kedua, spot ini tidak terlalu menarik. Ikannya tidak terlalu banyak dan banyak hewan kecil sejenis ubur-ubur yang menyengat gatal. Bukan cuma itu, karangnya pun patah-patah/putus seakan-akan menambah pilu hati ini yang sedang patah, huufft. Saat saya tanya sang kapten kapal apa nama spot yang kedua itu, dia menjawab Tanjung Putus, hhmmm pas banget (nanjep). Kami tak berlama-lama ada di spot itu, beralih menuju pulau Gosong. Pulau kecil yang tak berpenghuni cuma terbagi dalam pasir putih. Di sekitarnya terhampar air laut jernih berwarna toska, tidak terlalu dalam, dikelilingi oleh deratan bukit dan pulau yang menjadi lukisan alam yang mempesona. Sayangnya sunset saat itu tidak menampakkan keanggunan warna jingga nya karena tertutup segelintir awan hitam. Puas berfoto dengan bermacam gaya, kami berlayar kembali ke homestay. Duduk di depan anjungan perahu membuat ayunan gelombang laut lebih terasa, seakan merefleksikan hidupku akhir-akhir ini.

Di pulau Gosong

Sunset di pulau Gosong yang tertutup awan hitam

            Sampai di homestay, kami berlomba tuk memasuki kamar mandi tuk membersihkan badan yang lengket berlumur air garam. Badan pun bersih dari air garam, lalu perut terisi hidangan ikan laut yang sedap. Lampion time, salah satu sesi yang disediakan oleh TS. Sejujurnya saya belum pernah menerbangkan lampion, sepintas salah seorang teman berkata semoga bisa mengabulkan harapan. Well, bagi saya setidaknya mencoba hal baru, paling tidak  mencerahkan gelapnya malam. Semua lampion yang dinyalakan, terbang bersama dengan doa dan harapan. Setelah lampion terbang, entah saya salah lihat atau tidak, bintang-bintang malam bermunculan dan bertambah banyak, hal yang sudah langka dilihat di langit malam Jakarta.

Lampion Time


       Pagi di dermaga, saya dan beberapa teman menunggu munculnya sang surya. Masih terbit dari sebelah timur, sang surya menampakkan kegagahannya dan cahaya nya menyibak awan hitam. Ada harapan baru di pagi yang baru. Kami menyantap sarapan pagi, lalu beraiap-siap tuk snorkeling lagi. Ada 2 spot juga hari itu, yang pertama di Kelagian Besar, saat nyemplung, arus air nya deras sehingga banyak ikan yang bergerombolan dan berkeliaran kesana kemari. Sekelompok ikan kecil menari-nari dekat permukaan air laut, sedangkan sekelompok ikan yang agak besar, bersembunyi dibalik karang. Saat saya mendekati sekelompok ikan itu, mereka buyar lalu berkelompok kembali, lucu sekali. Tak tahan akan derasnya arus, saya harus kembali ke kapal dan agak tergopoh-gopoh karena kehabisan napas. Beranjak ke spot yang kedua yaitu Kelagian Kecil, spot yang terakhir ini menurut saya spot yang terbaik dari 4 spot yang kami singgahi. Terumbu karangnya berjajar panjang, bermacam-macam warna dan banyak ikan nya. Anemon pun tak sulit ditemui dan ikan badut yang menghibur didekat sangkarnya. Untuk spot yang terakhir itu, puas lah kami melihat keindahan alamnya, bahkan kami snorkeling dengan waktu terlama daripada di spot yang lain.

Sunrise di dermaga Pahawang

Ikan Badut (Nemo), di spot Kelagian Kecil


              Well, saatnya kembali ke homestay tuk bersih-bersih dan bersiap pulang. Dari homestay, kami diantarkan kembali menuju pelabuhan Ketapang, dan dilanjutkan perjalanan darat dengan mobil yang sama saat kami berangkat. Saat menuju pelabuhan Bakauheni, kami terhenti oleh antrian panjang mobil yang hendak menuju tujuan yang sama, antriannya kira-kira 7 km panjangnya, wow. Tapi akhirnya setelah menunggu berjam-jam antrian mobil, kami melocat ke kapal penyeberangan Elysia dan ke Jakarta aku kembali.

See yaa.....

         







Rabu, 15 Januari 2014

Gunung itu Punya Anak Yaitu Anak Krakatau

Hujan yang turun membasahi bumi belum juga reda, tapi tak menyurutkan niat saya tuk tetap melangkah. Malam itu pukul 7, saya beranjak dari rumah menuju terminal Kampung Rambutan. Rencana mau mengalami tahun baru di pulau sekitaran Anak Krakatau. Bus Laju Prima tujuan Merak menjadi moda transportasi saya dari kp.Rambutan. Ternyata bus itu harus ngetem/menunggu penumpang di beberapa tempat sebelum benar-benar melaju. Sambil kenek menarik ongkos 20k, saya mengamati bus yang sudah penuh oleh penumpang bahkan ada yang berdiri, tidak kebagian tempat duduk. Tak terbayang jika saya harus berdiri selama lebih kurang 4 jam menuju Merak, otot kaki pasti pegel rasanya. Musik yang terus menempel di kuping saya membuat perjalanan tak terasa. Ketika saya lihat jam di hp ternyata sudah jam 12 tengah malam saat kenek meneriakkan kata Merak, berarti saya harus segera turun dan menuju pelabuhan.
Atm center pelabuhan Merak menjadi meeting point saya dan kawan-kawan backpacker. Reno yang menjadi TS (Thread Starter), mengenakan celana panjang loreng memanggil kami satu persatu, memastikan apakah jumlah pengikut trip sudah datang semua. Jumlah peserta trip kala itu ada 35 orang, jumlah yang cukup banyak yang sepertinya tak akan bisa mengenal mereka satu persatu hanya dalam waktu 2 hari 2 malam.

Kumpul di Pelabuhan Merak

Reno mengkoordinir tiket kapal ferri kami, sehingga tak perlu mengantri tuk beli tiket seperti penumpang yang lain. Bergerombol memasuki kapal ferri dan mencari lapak tuk merebahkan badan selama perjalanan yang akan di tempuh kira-kira 2 jam lamanya. Jangkar diangkat dan kapal segera beranjak meninggalkan pelabuhan Merak. Kami sampai di pelabuhan Bakauheni, lampung pukul 4 dini hari. Selagi Reno mengurusi kendaraan selanjutnya yang akan kami pakai, beberapa diantara kami ada yang menunaikan ibadahnya dan yang lain termasuk saya memilih tuk mengisi perut yang sedari tadi sudah keroncongnan. Pukul 5 pagi, kami berangkat dari pelabuhan Bakauheni menggunakan angkot kuning yang sudah dicharter sebanyak 3 unit menuju pelabuhan Canti, kecamatan Rajabasa - Provinsi Lampung. Perjalanan kurang lebih 1 jam menuju pelabuhan Canti. Dari sana kami akan menuju homestay di Pulau Sebesi.

Pelabuhan Canti, Rajabasa - Lampung

Kapal motor Timbul Cahaya mengantar kami ber-35 orang dengan ABK 4 orang di kapal itu, jumlah yang kontras bukan?. Selepas berlayar dari pelabuhan canti, terlihat gunung Raja Basa dibelakang pelabuhan itu. 1,5 jam kami terombang ambing di atas kapal motor sebelum sampai di Pulau Sebesi. Sampai di lokasi, kami langsung menuju homestay yang tak berapa jauh dari tempat kapal motor bersandar. Sayang homestay yang kami tempati kurang terawat, terlihat dari atapnya plafon yang berwarna kecoklatan dan ada bagian yang rusak. Ada beberapa bangunan pula yang sudah kosong tinggal kerangka nya saja dan tertutup ilalang. Tanya punya tanya ternyata homestay di sana adalah kepunyaan Pemda, ckckck.

Menuju Homestay

Barang bawaan kami taruh di homestay, lalu kami bergegas ke kapal motor lagi tuk menuju gunung Anak Krakatau. Ada perubahan jadwal, seharusnya kami trekking ke Anak Krakatau pagi-pagi, tapi karena cuaca yang tidak bersahabat akhir-akhir ini, sang TS merubahnya menjadi siang hari. Lebih dari 1 jam lagi kami terombang ambing di kapal menuju Anak Krakatau. Dari kejauhan terlihat gunung nan tegap mengeluarkan asap putih yang cukup tebal. Jangan-jangan kami tidak akan boleh naik sampai puncak kedua, batin saya berbisik. Kami ditemani oleh ranger saat trekking di Anak Krakatau menuju puncak 1 yang tingginya sekitar 100 meter. "Untungnya baru saja hujan jadi tidak terlalu berpasir, kalo lagi kering lebih susah nanjaknya" Reno menjelaskan, berhubung dia sudah 4 kali ke sana pastinya lebih paham medannya. Reno sebagai TS mengajak istri dan sepasang anaknya. Saya kagum pada kedua anaknya Reno yang masih berusia 7 dan 5 tahun, mampu nanjak Anak Krakatau bersama kami tanpa lelah.


Dari kejauhan terlihat Gunung Anak Krakatau yang sedang "batuk"



Sampai Juga di Anak Krakatau

Pemandangan Dari Puncak 1 Anak Krakatau

Takjub akan pemandangan dari puncak 1 sejauh mata memandang, wow. Kami mengabadikan alam itu dengan kamera. Say bertanya kepada ranger yang menemani kami, "Pak, kita tidak naik ke puncak 2?", beliau menjelaskan "kondisinya sekarang tidak memungkinkan". Pupus sudah harapan saya tuk naik ke puncak 2 yang sudah saya duga saat melihat di kapal bahwa pucak sedang berasap. Terus terang saya agak kecewa, tapi sudah lah tak mungkin juga dipaksakan, malah akan mencelakakan diri sendiri. Puas mengambil gambar, kami kembali turun menuju kapal dan perjalanan turun tidak lebih gampang karna saya beberapa kali terpeleset.
Setelah trekking kami bertolak ke tanjung Krakatau (legon pari) dan waktunya snorkeling. Byurr, tubuh saya langsung menyusup kedalam air sesaat jangkar diceburkan. Ternyata karang-karang disana didominasi karang-karang tajam seperti ranting pohon. Sepertinya goncangan karna aktifitas anak gunung menghambat pertumbuhan karang. Meskipun ada anemon-anemon yang saya lihat tapi saya harus berenang agak ketengah laut. Air laut pun agak keruh dan kotor karena ada longsor ditandai dengan serbuk-serbuk kayu dan ranting pohon tergenang dipermukaan air laut. Visibilitas pun jadi berkurang sehingga saya tidak betah berlama-lama di dalam air.

Karang-karang di Legon Pari

Sekitar pukul 4 sore kami menyudahi aktifitas snorkeling dan kembali ke homestay di Pulau Sebesi. Sepertinya cuaca memang tidak bersahabat, awan mendung menghadang kilauan matahari yang ingin tenggelam. Alhasil kami hanya menikmati rintik-rintik hujan dan percikan air laut akibat gelombang yang cukup tinggi. Sesampainya di homestay, kami membersihkan badan yang sudah lengket lalu mengisi perut kemudian merebahkan badan tuk mengurangi rasa lelah.
Setengah jam sebelum malam pergantian tahun, Reno membangunkan kami tuk menyalakan kembang api. Cedarr cedeer, warna merah kuning biru dan hijau dari kembang api menghiasi langit malam sebagai tanda pergantian tahun, horee tahun baru,, ada harapan-harapan baru pula. Mimpi-mimpi yang belum terwujud semoga bisa kugapai tahun ini, begitulah kira-kira yang ada dibenak saya saat itu. Sehabis pesta kembang api, kami melanjutkan tidur, zzzzzz..
Matahari sudah menampakkan dirinya pagi itu tapi agak terhalang awan mendung. Pukul 7 kami bersiap tuk snorkeling lagi. Menuju pulau Sebuku besar kira-kira 1 jam dari pulau Sebesi. Spot snorkeling di sekitar pulau Sebuku besar itu lebih bagus daripada di Legon Pari. Air nya lebih jernih, banyak anemon beserta ikan nemo yang bersembunyi di dalamnya, banyak ikan kecil mirip ikan teri yang berenang sangat cepat, dan ikan lainya yang lebih bervariasi. Ada juga bulu babi yang bersembunyi di karang, sontak saya langsung menjauh dari tempat bulu babi itu berembunyi karna ingat kejadian di kepulauan seribu saat kaki saya tertusuk bulu babi. Puas snorkeling, kami berpindah ke pulau Umang-umang. Saya kira kami akan snorkeling lagi tapi tidak. Kami hanya mengisi waktu dengan berfoto ria, maklum pantainya lebih bagus daripada pantai disekitaran pulau yang lain. Pasir pantai yang putih dan batu-batu karang besar ditepian pantai jadi hiasan yang memukau. Sudah cukup berpose bak bintang iklan, kami kembali ke homestay di pulau Sebesi yang ada di depan pulau Umang-umang. Mencuci badan dan memberi makan cacing-cacing dalam perut sebelum kami bersiap meninggalkan homestay. 

Perjalanan Pulang dari Trip Anak Krakatau

Rintik hujan hampir selalu menemani kami saat menaikki kapal motor Timbul Cahaya. Kata perpisahan yang tak terucap seakan ditandai oleh rintik hujan. Kami kembali ke pelabuhan Canti lalu melanjutkan perjalanan darat menuju pelabuhan Bakauheni.
Jam 6 sore kami menyeruduk masuk kapal ferri Port Line. Wahh ternyata fasilitas kapal ferri yang satu ini terbilang mewah karna disediakan lounge tuk para penumpang tanpa biaya tambahan. Tak seperti saat kami berangkat dari Merak, yang harus menambah 6 ribu rupiah hanya untuk tidur-tiduran di dalam kapl ferri. Perjalanan 2 jam di dalam kapal ferri Port Line tak terasa karna fasilitas yang mewah itu, di bagian VVIP bahkan ada tempat tuk karokean dan bioskop.

Bermain Kartu dan Bersantai di Kapal Port Line

Kami saling bertukar cerita pengalaman jalan, ada pula yang bermain kartu uno. Kapal pun bersandar di pelabuhan Merak dan kami mengambil rute menuju rumah masing-masing. Saya sendiri bersama bersama teman yang menuju kp.Rambutan menaikki bus primajasa.

This is the end of my trip but not the last... See ya next journey...