Jumat, 29 November 2013

Naik-naik ke Puncak Pangrango

Sebulan berlalu tanpa petualangan, hampa dan sepi jiwa ini. Dua destinasi terakhir selalu merapat ke pesisir pantai tapi kali ini saya putuskan tuk menaiki ketinggian. Berada tak begitu jauh dari Jakarta, destinasi kali ini cocok tuk merehat kepenatan sehari-hari. Gunung Pangrango namanya yang menjadi tujuan saya kali ini.
Saya bersama 11 teman backpacker berkumpul di depan terminal kp.Rambutan. Pengalaman selama ikut trip bpi, selalu saja orang-orangnya ngaret, bahkan trip kali ini lebih ngaret daripada sebelumnya. Saya yang tiba jam 20.15 wib harus menunggu kawan yang lain sampai jam 23.30 wib tuk beranjak ke Cibodas. Pekatnya malam kami lalui di dalam bis, terpejam hingga sontak terbangun saat kenek bis meneriakan kata Cibodas. Tak terasa pejalanan dalam bis selama dua jam lebih telah berakhir. Ada 3 pasukan tambahan dari Bandung sudah menunggu kami, total ada 15 orang bersama-sama menaiki ketinggian.

Tempat Istirahat di Warung Mang Idi

Tak lantas memulai pendakian, kami beristirahat di warung Mang Idi hingga sang fajar muncul. Jam 6.30 wib kami memulai pendakian, selangkah demi selangkah kami lewati jalur itu. Ada 8 pos yang harus kami lewati sebelum sampai di Kandang Badak tuk bermalam disana. Perhentian pertama tentu saja di pos satu tuk melapor ulang. Perhentian selanjutnya ada di jembatan cinta, jembatan yang kira-kira panjangnya hampir 1 km, disana saya melihat kera bergelantungan dan melompat-lompat dari dahan satu ke dahan lainnya.

Plank Taman Cibodas, Pos 1
Papan Info Sekilas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Jembatan Cinta

Jalan mendaki satu persatu terus kami lalui, sesekali dapat bonus jalan datar. Entah beberapa kali kami berhenti tuk mengatur nafas dan meneguk air. Ada jalur air panas yang harus kami lewati, menapaki batu-batuan licin dan berpegang pada tali. Saya menoleh ke kanan berupa jurang entah berapa dalamnya, disebelah kiri berupa tebing. Air panas mengalir dijalur itu dan kaki saya tersengat oleh panasnya membuat jantung tambah berdebar-debar. Di tengah pendakian, kami terbelah menjadi beberapa kelompok, ada yang di depan, di tengah, dan di belakang. Saya salah satu dari dua orang yang tergesa-gesa tuk sampai di Kandang Badak. Jika terlalu lama dan terlalu sering beristirahat membuat saya cepat lelah. Di samping saya, wanita cantik nan manis terus mengikuti dengan semangat, saking semangatnya kami meninggalkan jauh rekan-rekan yang lain.

Gunung Gede-Pangrango dari kejauhan
Petunjuk Arah dan Jarak di Pos 2

Setiap kali pendakian selalu saja terlintas dalam benak saya, kapan  sampainya?. Rasa lelah, letih, takut tak boleh mengalahkan saya tuk bisa sampai di puncak tetapi bukan tuk menaklukan alam melainkan menaklukan kekhawatiran diri saya sendiri. Karena sejatinya alam takkan bisa ditaklukkan tapi diri sendiri bisa. Jam 12.15 wib akhirnya saya tiba di Kandang Badak bersama si nona manis, disusul teman-teman yang lain. Pas sampai di Kandang Badak suasana ramai sekali seperti di pasar, kami saja kekurangan lapak tuk mendirikan tenda dan harus menunggu beberapa pendaki yang selesai ngecamp tuk mendapatkan lapak yang cukup. Bongkar lapak dan mendirikan tenda selesai kira-kira jam 3 sore, dilanjutkan dengan masak tuk mengisi tangki perut yang sudah kosong. Lalu menghangatkan tubuh di dalam tenda sampai terlelap.

Keramaian di Kandang Badak
4 Tenda kami

Belum juga sinar mentari tiba dan udara masih membuat saya menggigil, tapi kami harus bersiap-siap tuk menuju puncak Pangrango. Subuh itu jam 2, kami menuju summit berbekal cahaya headlamp dan senter tuk menerangi jalan setapak itu. Jarak pandang hanya beberapa meter saja sejauh sinar headlamp dapat menyinari. Jalan terus mendaki seringkali dihadang pohon yang melintang membuat kami harus merunduk dan meloncatinya. Setelah 4 jam melewati rintangan-rintangan  itu, akhirnya kami sampai di Puncak Pangrango. Kami tiba agak terlambat karena sunrise nya sudah beranjak mendahului kami.

Puncak Pangrango
Sunrise di Puncak Pangrango
Bersama di Puncak Pangrango

Angin yang bertiup dipuncak itu kembali mendinginkan tubuh saya dan membuat hidung saya menghasilkan larutan lendir. Selesai menikmati puncak, kami menuju Mandalawangi. Tak tahu tempat seperti apa, saya hanya mengikuti jejak kawan yang lain. Tak berapa jauh ke tempat itu dan ternyata itu adalah sebuah lahan yang banyak ditumbuhi Edelwies tapi sayang sedang tidak berbunga. "Saat sedang musim kemarau baru berbunga", kalimat seorang teman yang menjawab pertanyaan dalam benak saya. Di Mandalawangi kami menghangatkan tubuh dengan minuman hangat, melepaskan lelah sembari ngobrol ngalur ngidul. Percakapan akan pengalaman pribadi, demo buruh sampai jual beli motor menyeruak tak ada ujungnya.

Di Mandalawangi
Bersama di Mandalawangi

Sinar mentari mulai menyengat, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 wib, kami beranjak tuk kembali ke tenda di Kandang Badak. Jalur summit yang kami lewati dini hari itu terpampang jelas saat kami turun. "Ternyata begini jalur yang kita lewati tadi", ucap salah satu kawan. Perjalanan turun terpangkas 2 jam dari waktu naik. 7 orang termasuk saya sampai terlebih dahulu di tenda, sisanya 6 orang masih menikmati perjalanannya. Sejam berlalu sejak kami tiba tapi kemunculan 6 orang kawan belum terlihat. Akhirnya mereka tiba dua jam kemudian, usut punya usut ternyata mereka nyasar. Mereka mengikuti jalur sempit setapak yang terlihat ada jejak-jejak kaki, sebenarnya saya pun hampir menelusuri jalur itu. Naluri memberontak dan tak ada pita di beberapa pohon di jalur itu, sehingga saya berbelok keluar dari jalur itu sampai terlihat ada pita di pohon dan mengikuti jalur. Bagusnya 6 orang kawan itu masih selamat bahkan ada cerita tambahan bagi mereka masing-masing.

Ternyata Seperti Ini Jalur Saat ke Puncak Pangrango

Selesai makan, kami merapikan barang dan membongkar tenda. Jam 4 sore, kami meninggalkan Kandang Badak dan turun menuju Cibodas. Matahari mulai tenggelam dan sinarnya perlahan-lahan sirna, tak nampak lagi menembus pepohonan tinggi yang berlumut yang menandakan gunung itu tidak aktif lagi. Langkah kaki bergerak cepat dan semakin cepat agar bisa sampai di bawah sebelum gelap. Terlalu cepat melangkah membuat salah satu teman yang wanita terjatuh bahkan hingga dua kali. Kecepatan kaki pun diperlambat takutnya jatuh tuk ketiga kali. Ternyata setelah ditanya-tanya, dia punya darah rendah sehingga konsentrasi cepat menurun dan mengalami pusing-pusing. Salah satu teman wanita yang lain -si nona cantik nan manis yang penuh semangat itu- membantu membawakan tas teman yang terjatuh itu.
Gelapnya malam tak bisa dilewati begitu saja dan kami masih harus menuruni jalan. Kira-kira hampir jam 8 malam kami tiba di pos 1 tuk melapor bahwa pendakian kami telah usai. Dari pos 1 menuju Cibodas tuk mencari makan, kemudian bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing.

Kalau dipikir-pikir kenapa mau capek-capek naik gunung trus turun lagi?
Bukannya lebih enak meringkuk di tempat tidur?
Atau nonton tv sambil nyemil?

Hmmm, jawabanya ada pada diri kita masing-masing!.

SAYONARA...

Minggu, 10 November 2013

Desa itu Bernama Desa Sawarna

Kota yang saya tinggali adalah tempat yang sangat padat penduduk dan bangunan, riuh di pagi hari, ricuh di siang hari, lalu semraut di sore menjelang malam. Tak ayal kegiatan sehari-hari di kota Jakarta membuat saya ingin melepas penat dari kesibukan itu.
Hari Jumat malam, selepas bermain futsal bersama teman kantor, saya berkumpul di kost-an teman tuk menuju suatu desa yang disebut Desa Sawarna. Roadtrip kami lakukan beranggotakan 6 orang, semuanya para lelaki petualang. 5 1/2 jam lamanya menuju desa itu, tiba jam 4.30 wib. Andrew Homestay adalah tempat yang sudah kami pesan tuk singgah, tempatnya tepat berada di dekat salah satu ikon Desa Sawarna yaitu jembatan cinta.

Pengunjung Bergantian Melewati Jembatan Cinta

 Istirahat sejenak tuk meluruskan badan setelah sekian lama duduk di mobil. Setelah cukup beristirahat, kami berjalan menuju Goa Lalay, saya kira tempat itu tak jauh tapi ternyata cukup membuat otot betis saya mengeras, fiiuhh.

Plank Petunjuk Jalan

Sampai di spot, ada dua pilihan menyusuri Goa Lalay, yaitu dengan jarak 400 m dan jarak 1,5 km. Kami menjatuhkan pilihan pada pilihan pertama, karena waktu yang terbatas dan ingin menelusuri tempat yang lain juga. Di dalam gua itu, stalaktit tumbuh dengan subur sedangkan stalakmit tak terlihat karena ada aliran air yang cukup deras sehingga membuat kami pelan-pelan menyusurinya. 

Di dalam Goa Lalay

Baguslah tidak ada fandalisme (aksi coret menyoret) di dalam goa itu seperti yang saya lihat di beberapa goa lainnya, biasanya sih dilakukan oleh para ABG ababil yang sedang jatuh cinta ataupun putus cinta. Tak berapa lama kami menyusuri goa itu, perjalanan kaki dilanjutkan menuju Legon Pari. Nah, dari Goa Lalay menuju Legon Pari harus kami lalui bentangan sawah terlebih dahulu. Sawah terhampar luas di depan mata, saat itu sawah sedang dibajak, ada yang menggunakan mesin bajak dan ada pula yang masih menggunakan kerbau. Para bapak membajak sawah, sedangkan para ibu menanam bibit padinya, ditemani anak-anak yang bermain dipinggiran sawah. Terpajang kealamiahan yang masih terjaga, sekejap memenuhi hasrat mata saya akan hal-hal yang tak pernah lagi saya lihat di kota-kota besar.

Dari Goa Lalay Menuju Legon Pari

Setelah sawah kami lewati, bukit yang banyak ditumbuhi ilalang harus kami lalui dan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi tak luput dari jejak kaki kami.
Di Legon Pari, sekelompok anak muda sedang bermain di pinggir pantai, membasai diri dengan air laut semenit kemudian saling melempar pasir, keceriaan yang jarang didapat. Saya hanya mengamati mereka sambil menikmati air kelapa muda yang menyegarkan tenggorokan. 

Legon Pari
Menikmati Indahnya Legon Pari dengan Kesegaran Kelapa Muda

Matarahi tepat berada di atas kepala kami, lalu saya dan teman-teman beranjak dari Legon Pari menuju homestay tuk makan siang. Teriknya sang surya sangat terasa di ubun-ubun dan menelusuk ke perut tapi tak menyurutkan keceriaan kami yang always on olways happy. Salah satu teman saya-mirip seperti Pepi- seringkali menyebut nama kecengannya, padahal klo ada orangnya mah tak bisa berkutik apa-apa alias malu setengah hidup. Tak luput selama diperjalanan teman saya itu menjadi candaan selama siang tengah bolong itu. Akhirnya sampai juga di tempat makan, semenit kemudian hidangan yang  kami pesan pindah kedalam perut.
Selesai makan siang, kami langsung menuju pantai Pulo Manuk, karena kaki masih pegal, kamipun memutuskan untuk naik mobil. Banyak perahu nelayan tidak melaut, anak-anak kecil dengan asiknya bermain air di sungai kecil dekat pantai itu.

Perahu Nelayan Bersandar di Pantai Pulo Manuk
Anak-anak kecil Bermain di Sungai Kecil

Sore hari kami habiskan tuk menyusuri pesisir Pantai dan mengabadikan kokohnya karang Tanjung Layar lewat kamera. Sayang seribu sayang sunset saat itu tak terlihat karna mendung dan seketika hujan memastikan sunset takkan terlihat, too bad.
Kamipun terjebak dalam derasnya hujan, untungnya banyak warung yang menyediakan gubuk tuk kami singgah menunggu hujan reda. Saya mengamati bahwa banyak warung yang mulai merambah, ditandai dengan bangunan yang belum selesai seutuhnya ataupun baru mulai dibangun.

Keramaraian Sore Hari di Pantai
Banyak Gubuk/Warung di Pinggir Pantai

Wah waah wah dalam benak terbesit bakal ada gubuk-gubuk mesum nantinya, mudah-mudahan saja benak saya keliru. Hampir sejam kami menunggu disalah satu warung, walapun rintik masih turun kami bergegas meninggalkan Tanjung Layar. Tak berapa jauh meninggalkan gubuk, hujan kembali menghadang sehingga kami berlindung di warung lainnya. Deburan ombak berkali-kali terdengar, diselingi nyanyian gemuruh. Gelapnya malam dihiasi kilatan petir dan pertanyaan Pepi "film mana yang lebih seram, Conjuring atau Insidious?" menambah malam itu semakin gelap.
Tak mau berlama-lama lagi menunggu hujan reda, kami setengah berlari melewati gelapnya pesisir pantai dan singgah lagi di salah satu warung. Tergiur oleh spanduk yang bertuliskan ikan bakar membuat kami berhenti di warung itu, perut memang sudah keroncongan. Memang mantap menyantap ikan segar yang di bakar selagi cuaca dingin. Selepas makan, akhirnya kami benar-benar kembali ke homestay tuk mebersihkan badan yang bercampur keringat dan air hujan.
Sisa malam kami habiskan dengan bermain PS, hanya saya dan Pepi yang tahan bermain sampai tengah malam sebelum akhirnya merayap ke kasur.
Pagi harinya udara terasa dingin, saya memakai baju hangat tuk menahan udara saat itu. Hanya saya dan seorang teman yang berniat bangun pagi-pagi tuk mengejar sunrise, keempat teman lainnya memilih bertahan di kasur. Tak dapat sunset di hari sebelumnya tapi untunglah sunrise nya ciamik di balik Tanjung Layar, tak percuma perjuangan bangun pagi-pagi.

Sunrise di Tanjung Layar

Melihat pasangan yang bergandengan tangan membuat perasaan bercampur aduk (senang dan sebel). Senang karena ada keromatisan di dalamnya, sebel karena saya bukan salah satu dari pasangan itu... Puas mengambil gambar, kembali ke homestay dan menemukan keempat teman yang masih enak berbaring di kasur. "Kirain sudah bergantian mandi, eh ternyata masih ngorok" celoteh saya kepada mereka. Silih berganti memasuki kamar mandi sambil ritual pagi. Kira-kira pukul 10 pagi, kami berpamitan kepada om Andrew sang pemilik homestay. Satu setengah jam tiba di pelelangn ikan di Pelabuhan Ratu, memasuki rumah makan bermaksud mengisi kekosongan perut. Ikan Kerapu dan Cumi adalah menu yang kami pesan siang itu. Hidangan ludes dalam sekejap, maklum kami pejantan yang sedang kelaparan. Perut kenyang siap tuk melanjutkan perjalanan pulang. Bukit kami lewati dan pemandangan saat perjalanan pulang lebih menakjubkan daripada saat datang, karna kami melewatinya siang hari. Terbentang pesisir pantai Pelabuhan Ratu dari ketinggian beserta dengan tebing yang menjulang tinggi. Dipertengahan jalan macet tak terhindarkan karena ada jembatan yang sedang direnovasi, teman yang bisa menyetir mobil hanya satu orang, allhasil dialah yang paling pusing menghadapi macet itu. Tak terasa waktu itu cepat berlalu, sejenak menepi dari keramaian kota dan melepas penat. Kembali lagi harus berkutat dengan ramainya ibukota, entah sampai berapa lama lagi hingga destinasi petualangan kembali dimulai. Uppss hampir lupa, trip ke Desa Sawarna kala itu merupakan trip para jomblo, biar jomblo yang penting heppy...