Minggu, 08 September 2013

Bukit Moko Yang Indah

Mata masih ingin terpejam, selimutpun tak ingin lepas menutupi tubuh ini, tapi saya  harus segera beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu. Tujuan saya dan teman-teman tuk menyambangin Bukit Moko dimulai pukul 3 dini hari.
Meskipun mata masih terasa berat dan tubuh masih lelah karena aktifitas hari sebelumnya tapi tak menyurutkan niat kami tuk tetap pergi ke Bukit Moko yang katanya bisa melihat keindahan lampu-lampu kota Bandung dari ketinggian, weww!!. Letak Bukit Moko berada di daerah Dago Pakar dengan julukan bukit di atas awan karena merupakan dataran tertinggi di Bandung. Petualangan hari itu menggunakan motor, biar cepat dan irit ongkos tentunya. 3 motor berpasangan dan 1 motor yang single merupakan kawanan petualangan itu. Memulai start dari terminal Lewipanjang, melawan dinginnya cuaca kota Bandung, untungnya saya memboncengi seorang wanita mungkin bisa lebih hangat, *ngarep.com.
Awal perjalanan berjalan mulus, kira-kira 30 menit perjalanan kami menghadapi trek yang menanjak dan berliuk-liuk, awalnya saya merasa khawatir karena 3 motor yang kami sewa adalah motor matic bukannya manual, hanya 1 motor saja yang manual, takut-takut motor matic tidak bisa nanjak nantinya. Hampir saja sampai di bukit Moko, salah satu motor ban nya bocorrrr, hufft , jam masih menunjukkan hampir pukul 4 pagi, mana ada bengkel tambal ban buka jam segitu, apes banget lahh. Untungnya ada salah satu ibu warga sana sedang mempersiapkan masakan tuk jajanan warungnya, akhirnya dengan tampang melas kami membujuk ibu itu agar bisa menitipkan motor yang bocor itu disana, dan berhasil, hip hip horee..

Di Bukit Moko bisa makan pisang goreng keju n main kartu

Ok, lanjut perjalanan yang memang tak berapa jauh lagi. Ternyata tak semudah itu sampai di Bukit Moko, ada tanjakan terakhir yang kemiringannya sekitar 60 derajat plus jalannya yang rusak dan berbatu. Motor matic yang awalnya saya ragukan ternyata bisa juga melewati rintangan itu, tapi tanpa boncenger alias penumpang motor yang disuruh turun dan jalan kaki terlebih dahulu, (cape nih yee jalan kaki, hehehe).


Area yang luas tuk menikmati pemandangan

Finally, saya dkk tiba di bukit itu, dan "WOW" itulah kesan pertama saya melihat pemandangan dari sana, terhampar lampu-lampu kota Bandung yang belum redup dengan bukit-bukit disekelilingnya seperti melihat bintang dengan posisi terbalik, melihat kebawah bukan keatas,,,,,cantikknya.....
Yang cantiknya lagi, ada warung yang menyajikan pisang goreng dengan taburan keju, dingin-dingin begitu enaknya memang makan pisang goreng hangat, huuaahhh tambah mantap.


Kebun dan Bukit di Kejauhan


Biasanya sih memang jika perjalanan yang ditempuh sulit dan banyak tantangan sebanding dengan apa yang didapat nantinya dan tentunya lebih berharga...Just try it...!!!

See yaa..




Selasa, 03 September 2013

Kedamaian Kampung Naga - Tasik

Matahari belum menampakkan wujudnya, udaranya pun masih terasa dingin menembus jaket hingga kulit saya, berusaha menahan rasa dingin sesampainya di sana.
Pukul 4 pagi saya dan teman-teman tiba di Tasik setelah menempuh perjalanan lebih kurang 5 jam dari terminal kampung rambutan dengan bis Karunia Bakti. Sesampainnya di sana, kami pun singgah di sebuah mesjid hingga fajar datang tuk mengunjungi perkampungan yang masih tradisional, yaitu Kampung Naga.


Pusaka Tugu Kujang


Kira-kira pukul 6 pagi, kami berlima memasuki gapura Kampung Naga, terlihat tugu kujang dari kejauhan. Yup, itulah simbol dari perkampungan tersebut, kujang itu sendiri terbuat dari leburan senjata pusaka yang dimiliki 900 kerajaan yang ada di nusantara, ditempa oleh 40 empu selama 40 hari lebih dan diresmikan pada 16 April 2009. Begitulah keterangan yang disampaikan oleh mang Tatang yang memperkenalkan diri kepada kami saat melihat tugu kujang itu. Mang Tatang sendiri adalah orang asli Kampung Naga yang berbaik hati menjadi guide kami selama menyusuri perkampungan itu, jadilah kami mendapat informasi dari orang yang tepat, cihuuyy..
Mang Tatang menjelaskan banyak hal seputar Kampung Naga, bahwasanya semua yang ada di perkampungan itu mempunyai tujuan dan maksudnya masing-masing.


Adik-adik Pramuka

Sambil menyusuri satu persatu anak tangga, kami berpapasan dengan adik-adik yang berpakaian pramuka dari perkampungan tersebut, terlihat malu dari wajah mereka yang hanya melemparkan senyum simpul lalu pergi begitu saja.
Di salah satu spot anak tangga itu, terlihat sawah yang bersusun rapi dan bertingkat-tingkat serta perumahan yang terlihat seperti gubuk-gubuk dari kejauhan. Mang Tatang menjelaskan bahwa sistem tanam padi disana dilakukan dengan sistem JanLi, yaitu ditanam pada bulan Januari dan Juli, mereka tidak menggunkan pembasmi hama karena penanaman  dilakukan serentak begitu juga dengan masa panennya sehingga hama tidak berkembang biak dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Ada sebuah hutan larangan di kampung itu, dimana siapapun tidak boleh masuk ke dalam sana. Di sebut larangan karena mereka ingin menjaga hutan tersebut agar tidak rusak, agar ada lahan tuk penyerapan air sehingga mereka hidup bersama alam bukannya merusak alam seperti dikota-kota besar.


Sawah Tanpa Pestisida


Ada 113 bangunan di perkampungan itu, 3 diantaranya bangunan umum dan sisanya adalah rumah. Ketika memasuki rumah di sana, masih serba tradisional dan menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Atap rumahnya terbuat dari ijuk, dindingnya terbuat dari bambu-bambu dan pondasi nya hanya dari batu yang ditancapkan lebih kurang 15 cm ke dalam tanah tapi hebatnya saat terjadi gempa di Tasik rumah-rumah disana tidak ada yang roboh, wow. Kami memasuki rumah mang Tatang dan merasakan sejuk didalamnya, hal ini terjadi karena saat panas matahari, ijuk menghambat panas itu sehingga membuat udara di dalam rumah menjadi sejuk dan sebaliknya jika hujan, ijuk bisa menahan dingin udara di luar dan mempertahankan kondisi di dalam rumah tetap sejuk, dan lebih hebatnya lagi tiap rumah itu bisa bertahan hingga 40 tahun lamanya, hmmm super duper..
Oh ya istri mang Tatang sedang masak saat itu, dan tetap menggunakan bahan dari alam yaitu kayu bakar (hari gini masih pakai kayu bakar, hebat bukan?) serta tungkunya dibuat dari tanah liat. Mereka bukanya tidak menerima moderinasi jaman sekarang tetapi memang mau mempertahankan kebudayaan dan kesederhanaannya, Salutt!! Tiap rumah selalu berhadapan dengan rumah yang lain dan hanya terdiri dari 3 ruang yaitu dapur, ruang istirahat atau kamar dan ruang tamu. Tiap rumah tidak memiliki pintu belakang dan tidak memiliki kamar mandi sehingga semua aktifitas seperti mencuci, mandi, BAB atau yang berhubungan dengan kamar mandi dilakukan diluar rumah. Sempat terpikirkan oleh saya apabila malam-malam kebelet tuk BAB dan hujan pula, mau ga mau harus bawa payung plus obor karena belum ada listrik, betapa susahnya BAB saja, huffftt...



Rumah yang Saling Berhadapan


Mang Tatang mengajak kami tuk berkeliling melihat rumah-rumah itu, dan beliau bertanya kepada kami apa tanda yang ada di atap rumah? Itu tanda V dan kalian tahu apa artinya, beliau bertanya lagi? Artinya peace/damai, setiap agama ataupun adat istiadat diciptakan untuk membuat kedamaian tergantung dari orang yang menjalankannya, dan seketika saya tertegun saat mendengarnya karena memang saat itu saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri terlebih masalah-masalah yang baru saja saya alami dan hari itu saya belajar tentang kedamaian.


 Tanda V (Peace)


Puas berkeliling, mang Tatang mengajak kami tuk melihat kesenian setempat, adalah mang Encup yang sedang membuat alat musik karinding, alat musik yang cukup aneh karena untuk menghasilkan bunyi harus ditempelkan dibibir sambil digetarkan. Karena pingin coba maka saya pun menempelkan bibir saya ke karinding, dan bunyi yang saya hasilkan tak terdengar alias tidak berbunyi, hehehe..
Puas berkeliling Kampung Naga, kami menikmati kesejukan balai desa sambil merobohkan badan tuk sesaat. Matahari menyirami kampung itu terik sekali dan kumandang cacing dari perut kami mulai bermunculan, maka tiba waktu tuk kami beranjak dari kunjungan di perkampungan itu serta mencari makan siang (lafarrrr, maklum saya sendiri tidak sarapan). Uppss sebelum itu ada satu tugas penting yaitu menghitung anak tangga, jreng,,jreng.. Berbeda ketika datang, anak tangga yang kami susuri jalanya menurun, maka tuk pulang adalah sebaliknya, hmmm siapa takut? Mang Tatang memberitahukan bahwa anak tangga berjumlah 439. Satu persatu anak tangga kami hitung, awalnya mudah, ditengah-tengah mulai terengah-engah dan satu persatu teman saya sudah melupakan hitungannya, lalu pada akhirnya entah kenapa jumlah anak tangga yang saya hitung adalah 442, yah lebih 3 (darimana tuh kelebihan nya?) Wah karena sudah ngos-ngosan saya tidak mau menghitung ulang lagi apalagi perut sudah keroncongan. Perpisahan kami dengan Mang Tatang pun tak terelakan lagi dan kami beranjak pergi. Yupp beliau sudah mengajarkan banyak hal dari kesederhanaan sampai kedamaian Kampung Naga.

"Thanks my Lord, You teach me about peace....."

See ya...,,!!!


Mendaki Gunung Papandayan, 2665 mdpl

Perjalanan diikuti oleh para backpacker mania, kumpul di depan gerbang kampung rambutan. Ini perjalanan ke 3 saya bersama para backpacker mania dan yang ke-2 tuk muncak..
Dari kp.rambutan kami naik bus jurusan garut dengan ongkos 45 ribu aj dan lama perjalanan lebih kurang 4 jam an (11 malam - 3.30 pagi). Karena muncak kali ini dilakukan pada bulan puasa maka kami singgah sejenak di sebuah mesjid tuk sahur dan sholat bagi kawan-kawan yang menjalankan ibadah puasa. Nah setelah selesai sahur dan sholat, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil pick up, ada tiga mobil pick up yang di pesan, tiap mobil pick diisi 13 orang bahkan ada yang 15 orang disalah satu pick up.


Kelebihan muatan, ga bisa nanjak deh mobilnya


Nah perjalanan di mobil pick up in yang menantang, bukan hanya jalurnya saja yang berliku-liku dan menanjak tapi juga kondisi jalannya yang rusak dan banyak lubang dijalan, alhasil kami haris berpegangan erat satu sama lain karena goncangan mobil saat menghadapi lubang jalan dan beberapa kali harus turun dari mobil karena mobil tak dapat mendaki, huuft... Belum lagi ada kupluk teman yang jatuh (cewe loh) sehingga salah satu cowo yang baik hati turun dari mobil dan berlari-lari tuk mengambilnya dan dia lupa bahwa sedang berpuasa karena saking semangatny,hehehe... Akhirnya setelah 1 jam bergoncang ria dan bercanda di pick up, kami pun tiba di pos pendakian mt.Papandayan..




Yuup, melapor di pos pendakian sudah, absen ulang pesertaun sudah maka saatnya mendaki.. Baru saja mulai mendaki sudah disuguhkan dengan kawah belerang yang baunya masih sangat menyengat, kawah itu masih aktif yang ditandai dengan semburan asap berbau belerang. Ada yang unik di pendakian ini yaitu ada ojek menggunakan motor tril, tak disangka juga beberapa masyarakat lokal nekad bermotor di jalur pendakian ini, "Mungkin mereka bisa juara motor cross", celetuk teman saya, bisa jadi sih karea harus punya skill tinggi dalam menggendarai motor di sana karena bisa-bisa nyebur ke jurang tuh, wahh jangan sampai dah.
Kami melewati jalur hutan mati, mungkin dikatakan hutan mati karena pohon-pohon nya sudah tidak tumbuh lagi alias sudah mati, hanya batang-batang kering yang tertancap ditanah sama seperti di daerah kawah putih, Bandung. 




Lingkaran Tenda


Lama pendakian kita tempuh kira-kira 4 jam dan akhirnya sampai juga di tempat tuk mendirikan tenda yaitu Bukit Saladah. Satu persatu tenda didirikan dan posisi tiap tenda hampir membentuk sebuah lingkaran karena memang kita ingin memjaga kebersamaan meskipun belum kenal semua sesama pendaki, hihi maklum jumlah pesartanya lebih dari 40 orang. Pendakin kali itu memang direncanakan tuk melakukan taraweh berdama diatas gunung, tentu saja bagi teman-teman yang menjalankan ibadah puasa dan they did it, congratz guyss..!! Dini harinya, niatnya sih ingin melihat sunrise but cuaca ga mendukung sob alhasil saya dan teman-teman setenda pada meringkuk di dalam tenda alias tidur (takutkena air hujan, hehehe) tapi kawan-kawan pendaki lain ada juga yang tetap mencoba  melihat sunrise dan edelwise, semangat nih yee..



Narcis Bersama


Kira-kira jam 10 pagi tiba saatnya kami tuk turun gunung, tapi tidak lupa sesi yang paling penting yaitu foto-foto donk. Selesai bernarsis ria, kami pun turun dan perjalanan turun kira-kira hanya 1 jam lamanya. Setelah itu dilanjutkan dengan kecerian bersama di mobil pick up dengan bermain ABC lima dasar (tebak-tebakan dengan awalan huruf yang ditentukan, kalo tidak bisa jawab siap-siap tangan kena sentil). Tiba di terminal Garut, sebagian dari kami berpisah dengan tujuan masing-masing dan disinilah akhir dari cerita perjalanan muncak di Papandayan, See you next time...!!!






Sir Jumadi






Jakarta memang penuh dengan kemacetan tiap harinya, terlebih saat orang-orang berangkat kerja or memulai aktivitas. Pelebaran jalan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan kendaraan menjadi salah satu penyebab kemacetan Jakarta. Tapi guyss, pernahkah terpikirkan olehmu dengan memberikan ide atau tenaga untuk membantu mengurangi kemacetan tersebut?? Mungkin inilah salah satu orang tersebut yang dengan rela tiap pagi membatu tugas pak polisi untuk memperlancar kemacetan, namanya Jumadi, ketika saya tanya sudah berapa lama 'membantu' petugas? beliau menjawab : "wah sudah lama sejak jaman pak Harto".
Hidup memang keras guyss, terlihat dari bapak ini yang sudah bertahun-tahun mencari makan dengan 'membantu' mengurangi kemacetan dengan bayaran seadanya dan 'pemberian' para pengguna kendaraan. Dengan gayanya yang khas menunduk, mengangkat jempol, rokok ditangan dan terkadang membuat gerakan seperti sedang menarik, membuat saya terkesan melihatnya apalagi dengan ukuran badan yang mungil. Sekitar 3 tahun yang lalu ketika saya melewati persimpangan jalan itu (persimpangan MERCK), memang saya sering melihat beliau tapi baru pagi itu saya mempunyai kesempatan untuk mengambil gambar beliau.

Life is hard but never flat..................!!!


 
Sir Jumadi