Berada di gerbong besi selama 8 jam tak melarutkan hasrat saya menuju kota itu. Kereta Gaya Baru Malam yang saya tumpangi dari stasiun Pasar Senen menuju Lempuyangan tiba jam setengah 8 malam. Ini lah kedua kalinya saya berkunjung ke kota itu setelah 7 tahun yang lalu, Yogyakarta. Berbekal teknologi masa kini, saya dan seorang teman - Jannes - langsung bergegas menuju tempat penginapan yang sudah di pesan. Karena jarak dari stasiun ke penginapan tak terlalu jauh, kami putuskan untuk mengendarai kaki kami masing-masing, kurang kebih hanya 500 meter. Menurut info dari Jannes hotel yang kami pesan itu Hotel Airy, berada di Jl. Dr Sutomo dan berdekatan dengan Museum Batik dan Hotel Museum Batik. Sempat kewalahan karena hotel yang kami tuju tak kunjung ketemu padahal Museum Batik sudah kami lewati. Pada akhirnya kami memberanikan diri masuk dan bertanya pada resepsionis Hotel Museum Batik dimana Hotel Airy itu. Ternyata Airy itu bekerja sama dengan beberapa hotel sabagai jasa pemesanan online, ternyata bukan nama Hotel melainkan semacam aplikasi. Berhubung Hotel Museum Batik menjalin kerja sama itu, jadi lah kami menginap di Hotel Museum Batik. Per malam dikenai biaya 210 ribu rupiah.
Keesokan harinya kami berkeliling kota Yogya dengan sepeda motor sewaan. Seperti Jakarta, ternyata Yogya sudah lah menjadi kota yang macet, banyak kendaraan roda dua dan lebih berhamburan di jalan. Bedanya, jarang ada polisi lalu lintas yang terlihat, mungkin pelanggar lalu lintas jauh lebih sedikit daripada di Ibukota. Saat melintasi Jalan Malioboro, telihat penuh pengunjung yang bertumpuk dan menjadi pusat kemacetan. Masih terlihat delman yang parkir menunggu pelanggan. Trotoar yang sedari dulu terkenal itu kini sudah berubah menjadi lebih rapi. Sudah di buatkan pavilon blok dan kursi-kursi di sepanjang trotoar. Warung makan tenda pun berbaris dengan rapi tapi saya tidak melihat penjaja gudek, padahal seingat saya 7 tahun yang lalu, gudek menjadi menu utama yang hampir semua warung tenda menyediakan menu itu.
Tak ada lagi ibu-ibu dengan logat medok nya yang menyediakan gudek di trotoar itu. Pun jarang saya liat pengamen yang silih berganti mendendangkan suaranya, sudah berubah dengan sekelompok pengamen musik klanting ditambah penarinya yang kemelayuan. Tak lupa dengan harga makanan yang dulunya terkenal murah, sekarang sama saja seperti di Jakarta. Pupus sudah hasrat dan rasa kengen saya terhadap Jalan Malioboro yang terkenal itu. Hanya kenangan di ingatan saya yang dulu pernah menjadikan Malioboro sebagai tempat yang klasik nan romantis, sekarang tidak lagi. Mungkin bagi sebagian orang perubahan di Malioboro menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Tapi bagi saya keklasikan Malioboro sudah hilang seiring perkembangan zaman yang begitu cepat. Ya, paling tidak saya sudah pernah merasakan bagaimana klasik dan romantisnya Malioboro itu, dibandingkan dengan teman saya, si Jannes yang baru datang pertama kali kesana.