Jumat, 10 Maret 2017

Malioboro Yang Sekarang Tak Seklasik Yang Dulu

Berada di gerbong besi selama 8 jam tak melarutkan hasrat saya menuju kota itu. Kereta Gaya Baru Malam yang saya tumpangi dari stasiun Pasar Senen menuju Lempuyangan tiba jam setengah 8 malam. Ini lah kedua kalinya saya berkunjung ke kota itu setelah 7 tahun yang lalu, Yogyakarta. Berbekal teknologi masa kini, saya dan seorang teman - Jannes - langsung bergegas menuju tempat penginapan yang sudah di pesan. Karena jarak dari stasiun ke penginapan tak terlalu jauh, kami putuskan untuk mengendarai kaki kami masing-masing, kurang kebih hanya 500 meter. Menurut info dari Jannes hotel yang kami pesan itu Hotel Airy, berada di Jl. Dr Sutomo dan berdekatan dengan Museum Batik dan Hotel Museum Batik. Sempat kewalahan karena hotel yang kami tuju tak kunjung ketemu padahal Museum Batik sudah kami lewati. Pada akhirnya kami memberanikan diri masuk dan bertanya pada resepsionis Hotel Museum Batik dimana Hotel Airy itu. Ternyata Airy itu bekerja sama dengan beberapa hotel sabagai jasa pemesanan online, ternyata bukan nama Hotel melainkan semacam aplikasi. Berhubung Hotel Museum Batik menjalin kerja sama itu, jadi lah kami menginap di Hotel Museum Batik. Per malam dikenai biaya 210 ribu rupiah. 



Keesokan harinya kami berkeliling kota Yogya dengan sepeda motor sewaan. Seperti Jakarta, ternyata Yogya sudah lah menjadi kota yang macet, banyak kendaraan roda dua dan lebih berhamburan di jalan. Bedanya,  jarang ada polisi lalu lintas yang terlihat, mungkin pelanggar lalu lintas jauh lebih sedikit daripada di Ibukota. Saat melintasi Jalan Malioboro, telihat penuh pengunjung yang bertumpuk dan menjadi pusat kemacetan. Masih terlihat delman yang parkir menunggu pelanggan. Trotoar yang sedari dulu terkenal itu kini sudah berubah menjadi lebih rapi. Sudah di buatkan pavilon blok dan kursi-kursi di sepanjang trotoar. Warung makan tenda pun berbaris dengan rapi tapi saya tidak melihat penjaja gudek, padahal seingat saya 7 tahun yang lalu, gudek menjadi menu utama yang hampir semua warung tenda menyediakan menu itu. 




Tak ada lagi ibu-ibu dengan logat medok nya yang menyediakan gudek di trotoar itu. Pun jarang saya liat pengamen yang silih berganti mendendangkan suaranya, sudah berubah dengan sekelompok pengamen musik klanting ditambah penarinya yang kemelayuan. Tak lupa dengan harga makanan yang dulunya terkenal murah, sekarang sama saja seperti di Jakarta. Pupus sudah hasrat dan rasa kengen saya terhadap Jalan Malioboro yang terkenal itu. Hanya kenangan di ingatan saya yang dulu pernah menjadikan Malioboro sebagai tempat yang klasik nan romantis, sekarang tidak lagi. Mungkin bagi sebagian orang perubahan di Malioboro menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Tapi bagi saya keklasikan Malioboro sudah hilang seiring perkembangan zaman yang begitu cepat. Ya, paling tidak saya sudah pernah merasakan bagaimana klasik dan romantisnya Malioboro itu, dibandingkan dengan teman saya, si Jannes yang baru datang pertama kali kesana.






Borubudur Yang Menyengat

Sepeda motor yang saya pesan sedari pukul 7 pagi akhirnya tiba juga meskipun 1 jam setelahnya. Saya bergegas membayar biaya dan menyerahkan 3 kartu pribadi sebagai syarat jaminannya. Berhubung saya dan kawan saya - Holmes - tak akrab dengan daerah Yogyakarta maka kami mengandalkan waze sebagai petunjuk jalan. Kurang lebih 40 Km jauhnya roda sepada motor yang kami tumpang melintasi aspal hitam.

Gapura Candi Borobudur

Nampak Dari Kejauhan Candi Borobudur

Kira-kira satu setengah jam kami tiba di candi terbesar di Indonesia bahkan salah satu terbesar di dunia. Letaknya di kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Untuk parkir motor berada di luar kawasan parkir candi karna hanya kendaraan beroda 4 atau lebih saja yang diperbolehkan parkir, alhasil kami parkir di depan toko penjaja makanan ringan. Tiket masuk candi sudah 30 ribu rupiah per orang tapi jika ingin tiket terusan ke candi Prambanan hanya merogoh kocek 50 ribu rupiah untuk 2 candi. Mengantisipasi kalau kami tidak sempat ke candi Prambanan maka tiket terusan tidak kami tebus, hanya 1 tiket tujuan saja - candi Borobudur. Begitu menyerahkan tiket  masuk ke penjaga gerbang, kami menoleh kanan - kiri. Spontan Holmes berujar "mana candi nya?", dengan sok tahu saya menipali "mungkin di balik pohon itu". Seingat saya, dulu pertama kali kesana pohon-pohon belum menjulang tinggi sehingga dengan mudah candi Borobudur terlihat dari kejauhan. Karena tak ingin tersesat, kami ikuti saja pengunjung yang sudah di depan kami, dan tak berselang lama ada petunjuk arah di mana letak candi Borobudur, syukurlah. Setelah jalur pepohonan terlewati, muncul juga candi megah itu dan sengat matahari pun mulai terasa. Ternyata sudah ada fasilitas bagi pengguna kursi roda yang ingin berkunjung ke sana, terlihat salah satu pengunjung melintasinya. 

Anak Tangga Candi Borobudur

Relief
Ingat, Jaga Kebersihan !

Tiap anak tangga candi Borobudur harus susah payah dipanjat, "tinggi amat sih anak tangganya" ujar Holmes sambil merik napas dalam-dalam. Ditambah sengatan matahari yang kian tajam, sangat tajam bahkan. Relief di dinding candi membuat takjub mata saya, bagaimana bisa relief di bangunan seluas 1,5 ha ini bisa terpampang di sekelilingnya dan pasti menceritakan kisah di zaman itu, zaman Sailendra. Terpampang beberapa sudut yang sudah dipugar dan beberapa arca Budha di dalam stupa tak lagi utuh. Maklum umur candi Borobudur sudah lebih dari 2 abad.









Aktivitas ketika berada di sana, tentu saja mengabadikan moment. Pengunjung non lokal pun banyak terlihat, salah satu diantaranya sedang terlihat mengoleskan krim penghalau tabir surya. Memang siang itu terasa sangat panas, apalagi tak ada pohon di tengah candi yang bisa menghalau sinarnya, beruntung sekali pengunjung yang membawa payung. Oh ya, ada bangunan yang berada di tengah candi dan yang paling tinggi, disebut Chattra. Tak bisa di masuki ataupun mengintip kedalam karna tak ada lubang di Chattra itu. Panas yang tak kunjung henti, membuat kami menuruni candi dan berteduh di pepohonan. Sejenak menyeka keringat dan memandangi candi Borobudur dari bawah, betapa besar nya bangunan itu dan tersadar betapa banyak hal-hal besar ada di dunia ini beserta "misteri" kebesaran-Nya.