Sabtu, 26 Agustus 2017

Membatik Yuks!!

Sudah lama saya penasaran dengan Museum Tekstil, yang menurut info bisa belajar membatik disana. Letaknya tak jauh dari pasar Tanah Abang. Siang di hari sabtu akhirnya saya bisa melunasi rasa penasaran dengan berkunjung ke Museum Tekstil. Masuk ke museum itu ternyata tak perlu tiket masuk seperti kebanyakan museum lainnya. 

Gedung Depan Museum Tekstil


Ada taman di depan museum yang menambah sejuk sekitarnya, bahkan di sampingnya terdapat beberapa pohon yang rimbun. Memasuki gedung museum, terdapat beberapa bagian dengan lorong panjang yang menampilkan batik yang bernuansa merah putih. Masih dalam suasana kemerdekaan negeri ini. Ada juga ibu-ibu yang sedang menyulam, ada yang baru belajar dan ada juga yang sudah lama. Hal itu terlihat dari kecepatan tangan saat menyusun benang dan menancapkan jarum. Di beberapa ruang tersedia hasil karya batik yang berbeda-beda, ada boneka pakai batik, ada taplak meja, baju dll. 

Guru Sulam dan Muridnya
Karya Batik


Menuju belakang gedung ternyata ada yang menjual kain batik, dan pakaian yang bermotifkan batik. Ternyata Museum Tekstil terdiri dari beberapa gedung, jika tadi gedung yang baru saja saya lalui itu untuk memajang karya batik yang sudah jadi. Di gedung berikutnya, berada di belakang merupakan gedung untuk belajar membuat batik, mulai dari membuat sketsa atau pola, melekatkan lilin sampai dengan mewarnai. Saat itu banyak pengunjung yang merupakan pelajar, mungkin sebagai salah satu kurikulum kesenian. 

Canting dan Lilin

Lilin Cair Siap Dibubuhkan ke Kain


Salah Satu Murid yang belajar Membatik




Mereka belajar membuat sketsa dan menaburkan lilin cair ke sketsa itu dengan alat yang bernama canting. Selanjutnya kain yang sudah disketsa dan diberi lilin, akan diberi warna dengan menggulung kain bersama tali tambang lalu diberi pewarna sambil di peras. Kain yang sudah diberi pewarna dan diperas itu harus dibilas dengan air yang mengandung sedikit garam. Selain praktek membatik, ada pula workshop yang sedang berlangsung. Tiap museum memang memberi keunikan dan pengetahuannya masing-masing, yang perlu kita lakukan adalah menikmatinya. Seperti hal nya di Museum Tekstil itu, bisa belajar membatik sambil bermain dan bersenang-senang. 

Proses Membatik


Sabtu, 19 Agustus 2017

Monas yang Menari-nari

"Malam minggu malam yang panjang malam yang asik buat pacaran", begitulah penggalan salah satu lagu lawas yang terlintas di benak. Bukan hanya untuk pacaran, malam minggu kali ini asik juga untuk menjelajah kota Jakata di malam hari. Yang lagi santer baru-baru ini adalah berfungsinya kembali air mancur warna-warni yang berada di Monas. Ya, hasil dari perwujudan usaha oleh Bapak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Bapak Djarot Saiful Hidayat yang menginginkan Jakarta punya air mancur seperti air mancur yang ada di luar negeri. Maklumlah setelah 8 tahun lamanya air mancur Monas itu vakum tak menampilkan keindahannya. Karna penasaran bagaimana bentuk keindahan air mancur itu, jadilah malam mingguan menikmati air mancur Monas. Kami berdua harus memarkir kuda besi di stasiun Gambir dan bersedia jalan menuju Monas. Beruntung air mancur itu belumlah beraksi saat kami tiba di sana. 




Ternyata air mancur baru akan dimunculkan pada jam 19.30 WIB dan akan berlangsung selama 30 menit, dan sesi kedua akan dimainkan pada jam 20.30 WIB. Pengunjung sudah memadati panggung duduk yang tersedia, saya pun memilih tempat duduk untuk menikmati atraksi air mancur berhadapan dengan tugu Monas. Begitu musik piano bergema maka sontak air mancur itupun bermunculan, menari-nari mengikuti irama musik. Warnanya pun gonta-ganti menampilkan visual yang indah. Tiap atraksi air mancur akan mengikuti instruksi lagu yang dimainkan, Tanah Airku, Yamko Rambe Yamko, Manuk Dadali adalah beberapa lagu yang dimainkan. Indah dan merdunya Jakarta malam itu, apalagi saat malam mingguan, assoooyy. Tak ada biaya yang harus dikeluarkan untuk menyaksikan air mancur menari ini kecuali biaya parkir yang membawa kendaraan. Hhmmmm, hiburan yang murah nan meriah bukan?. Semoga Kota Jakarta semakin indah layaknya air mancur itu. Yuks, jalan-jalan seputar Jakarta..!!








Selasa, 02 Mei 2017

Pulau Kenawa Yang Menyengat

Sang Kapten kapal Vaizi Laut Selatan, sudah menunggu kedatangan kami di dermaga Telong Elong dari pagi tapi kami baru tiba pukul 10. Ternyata perjalanan dari Mataram ke dermaga itu 3 jam lamanya. Laut sudah mulai bergelombang kalo jam-jam segini, begitu penjelasannya yang seakan mengingatkan kami yang datang kesiangan. 

Di Kapal

Belum juga pesisir pantai kami jauhi, perahu tumpangan kami sudah menari-nari diatas ombak, betul juga apa yang di bilang sang kapten kapal. Ternyata kami terlebih dahulu menyusuri hutan bakau, lumayan sejenak mengurangi rasa pusing karna ombak. Setelah 2 jam berkutat dengan ombak laut, kami tiba di pulau Kenawa - Sumbawa. Degradasi warna kebiruan dan hijau tersedia di bibir pantai pulau Kenawa. 

Itu Dia Pulau Kenawa
Liat Pesan Di Papan!
Keke In Action
Selendang Berdua
Nanjak Dikit

Langsung saja kami melompat dari kapal, bersenang-senang menikmati pulau yang katanya tak berpenghuni itu. Di dekat kapal bersander, berdiri beberapa warung yang menjajakan minuman dan beberapa camilan. Di seberang pulau nampak kapal-kapal feri yang bersandar dan pergi dari dermaga pulau sebelah. Yang istimewa dari pulau Kenawa ini adalah bukit yang berada di tengah-tengah. Untuk sampai di atas bukit itu tak seperti naik gunung Rinjani, hanya beberapa meter saja tapi cukup terjal. Dari atas bukit itu, bisa melihat pemandangan 360 derajat, dan tentu saja indah. Landscape laut, pantai, pulau-pulau serta kapal terpantul ke lensa mata, hidup sungguh hidup. Ada 2 buah rumah kapsul yang berada di dekat bukit, dan rasa penasaran akan bangunan itu belumlah terjawab peruntukannya.






Pilih Tenda Atau Gazebo?

Musim hujan yang baru saja berlalu masih meninggalkan jejak berupa ilalang yang tumbuh subur. Setelah turun bukit pulau Kenawa, kami beristirahat di salah satu warung dan menyantap kelapa hijau. Terlihat ada pengunjung yang menikmati bawah laut Pulau Kenawa dengan cara snorkeling. Ingin turut serta rasanya tapi melihat ombak yang agak tinggi mengurungkan niat saya. Cukuplah singgah di pulau kecil nan indah itu sekedar menikmati sinar matahari yang berada tepat di atas kepala. 

Kapal Vaizi Laut Selatan



Jumat, 28 April 2017

Rinjani Yang Penuh Tantangan

Tiket pesawat yang baru terbeli sehari sebelum keberangkatan sedikit mengusik keraguan dalam benak. Keesokan hari nya pun saat di udara keraguan itu masih sering muncul di benak. Keraguan apakah akan bisa mendaki puncak tertinggi di pulau Lombok, keraguan apakah badan ini masih sanggup memikul ransel di pundak, maklum sudah 1,5 tahun lamanya tidak mendaki dan perut sudah membulat. Ingin rasanya membatalkan perjalanan itu tapi saya lebih tidak sanggup untuk membatalkan salah satu impian saya sedari dulu. Ahhh coba aja dulu, kalo gak kuat nantinya gak usah muncak, desirku dalam batin. Kami bertujuh berkumpul di Lombok International Airport saat hari sudah gelap. Mobil kijang biru yang kami sewa membawa kami selama 3 jam ke kaki gunung Rinjani di Sembalun. Di situ kami menginap di tempat salah satu porter yang akan menemani pendakian. 

Puncak Rinjani di Balik Base Camp

Full Team

Udara pagi yang dingin menembus selimut dan menusuk hingga ke kulit yang membuat saya harus terbangun. Ternyata dibalik rumah tempat kami menginap berdiri tegak sang Rinjani, hal ini baru terlihat jelas saat kami sadar pagi itu.
Pendakian kami mulai pukul 9 pagi, dengan menunjukkan tiket masuk sebesar 40 rb per orang kami dipersilahkan lewat oleh penjaga pos masuk. Debar jantung bertambah cepat dan seakan tak percaya saya sudah memulai perjalanan itu. Di bulan April, Rinjani disuguhkan warna yang hijau cerah, rumput dan ilalang pun masih subur-subur nya.



Trek di awal perjalanan masih banyak tanah landai dan hampir 4 jam lamanya kami tiba di pos 1. Dua buah gazebo ada di sana dan sebuah toilet yang bentuknya sudah tidak karuan lagi, uucchhh. Di pos itu saya melihat sekelompok turis dengan bahasa planet (menurut saya bahasa mandarin) sedang asik nge-rujak, andai saja bisa ikut nimbrung, hahaha. Mereka pun terlihat tak menggendong tas keril seperti kami, tapi penopang alias porter nya banyak terlihat. Tidak seperti kami hanya menyewa 2 porter, itu pun satu porter khusus membawa barang nya om Hendra, sesepuh di team kami. Pos 2 berjarak 1,4 km dari pos 1 dan setelah 1 jam kami tiba disana. Di pos 2 lagi-lagi terdapat toilet yang gak berbentuk dan miris nya lagi, plank dilarang buang sampah malah banyak sampahnya. Melanjutkan perjalanan ke pos 3, harus berjalan 1,5 jam lagi dan sudah mulai trek terjal meskipun belum banyak. Nah, di pos 3 lah kami bermalam.

Pos I
Pos II, Buanglah Sampah Pada tempatnya!!



Keseruan di malam hari itu adalah bertemu bintang-bintang sambil dihangatkan oleh api unggun hasil sang porter kami, Bang Anto. Nah selain itu, kalo lagi ngumpul pasti ngobrol ngawur ngidul, mulai dari pengalaman masing-masing, petuah sesepuh tentang menaklukan sang pujaan hati sampai ceng-cengan pasti tak terelakan lagi.
Esok paginya kami beranjak dari pos 3 jam setengah sembilan. Awal trek dari pos 3 itu sudah terjal, lutut sangat diandalkan. Pemandangannya, keren abis kyak pelem-pelem kolosal gtu deh semacam The Lord of The Ring. Di pertengahan jalan menuju Plawangan/Crater Rim cuma ada pos bayangan, sebelum bukit penyesalan. Kata seorang penjual minuman disana, kenapa namanya di sebut bukit penyesalan itu karena jarak Plawangan masih jauh dan kalo mau turun ke base camp pun lebih jauh lagi. Liat porter yang naik dengan memikul bawaan yang super banyak membuat heran, karena mereka sangat kuat plus lincah. Rata-rata para porter hanya memakai alas kaki bermerek swallow, ada juga yg tanpa alas kaki, uueedann. Kalo jumpa porter yang turun nih, ada yang setengah berlari, padahal mah trek nya curam (bagi saya). Nah ketemu juga nih bule-bule yang hendak turun baik bule asia maupun eropa. Baru kali ini saya jumpa banyak bule yang mau mendaki. Ini bukti bahwa Rinjani sudah terkenal di Asia dan di belahan benua lain.




Tiba di Plawangan jam 2 siang, di sana sudah menunggu om Hedra dari satu setengah jam yang lalu bersama Okki. Satu jam kemudian tiba Arbi, Keke dan Rudi, lalu disusul Anwar saat tenda sudah berdiri. Beruntunglah kami sudah dapat spot tenda karna beberapa jam setelahnya pengunjung bertambah banyak, ramai sekali seperti di pasar. Malam di Plawangan lebih dingin dari pada di pos 3, sedari jam 8 malam saya sudah masuk tenda dan berselimut sleeping bag karna menggigil. Bagusnya saya bersama om Hendra dan Arbi satu tenda, menjalin kehangatan dalam tenda yang sempit, tersusun seperti ikan pepes.


Para Porter Yang Hanya Memakai Sendal

Salah Satu Keindahan Naik Gunung

Plawangan

Terdengar suara Okki memanggil untuk bangun, saat saya liat jam masih pukul 12 malam, kawan setenda saya pun tak ada yang bergerak bangun maka saya pun tak beranjak. Sejam kemudian, bang Anto memanggil-manggil dan tak berhenti sampai kami semua terbangun. Berharapnya sih waktu itu tak ada suara bang Anto yang gaduh. Bersiap tuk summit, minus Anwar yang memutuskan tidak naik karna masuk angin dan bang Rudi yang sudah pernah ke puncak Rinjani, dia malah ngomporin kami untuk lanjut tidur saja di tenda. Oh ya para porter pun tak ikut summit, karna ada biaya tambahan lagi, mahal bro.

Matahari Hampir Terbit

Puncak Masih Jauh, Matahari Udah Nongol

Leter S
Perjuangan Mencapai Puncak
Minta Balik Terus, Padahal Puncak Udah Di Depan Mata

Langsung saja trek terjal kami hadapi disertai kerikil. Dalam kegelapan satu-persatu para pendaki melalui rintangan itu, lampu di kepala mereka tampak berkelip di kejauhan. Saya, Keke, dan Arbi sedikit berjalan banyak berhentinya, tak seperti 2 kawan lainnya om Hendra dan Okki yang melaju cepat. Terkadang kami merebahkan badan dan menghadap bintang-bintang, bersyukur juga bisa liat bintang jatuh. Sampai tiba waktunya matahari terbit, kami bertiga belum sampai jua di puncak. Arbi pun melesat meninggalkan saya dan Keke. Perjuangan yang paling berat ada di leter S menuju puncak, yang ada hanya kerikil, kerikil, dan kerikil. Sampai-sampai Keke selalu ngajak balik arah, "Nak balik", pintanya. "Itu puncak sudah de depan mata", sahutku, bagaimana bisa saya balik tanpa menggapai puncak itu terlebih dahulu. Padahal dalam batin pun rasanya sudah tidak sanggup lagi, jikalau Keke benar-benar balik arah berjalan turun pasti saya juga ikut turun. Okki disusul om Hendra beberapa menit kemudian malah sudah mau turun, maklum mereka berdua sudah sampai di puncak lebih awal. Malu dong sama om Hendra yang sudah berusia kepala 4 bisa sampai puncak, sedangkan saya dan Keke yang belum sampai puncak bahkan berpikiran nak balik saja. Semangat terbakar lagi sesudah bertemu om Hendra. Maju 2 langkah turun selangkah, begitulah perjuangannya. Batinku berkata , hidup begini juga kali ya saat mau meraih impian susahnya minta ampun, butuh perjuangan ekstra.

Kawah dan Danau Segara Anak
Akhirnya Sampai Juga Di Sini
Suasana di Puncak

Ketutupan Kabut
Arbi, Keke, dan Saya (kanan-Kiri)

Baru jam 9 siang saya dan Keke sampai di puncak, rasanya sungguh luar biasa berada di puncak Rinjani, tak terdeskripsikan. Arbi belum beranjak turun dari puncak saat kami tiba disana. Puas mengabadikan moment di puncak Rinjani, kami bertiga meluncur turun. Menurut info dari bang Anto sih rata-rata summit cuma 5 jam, tapi saya malah lebih lama 2 jam. Ya, tak seperti saat naik, turunnya gampang banget asalkan tahan debu dan tidak terpeleset. Nah kalo turun cuma butuh waktu 2,5 jam, kalo si Keke plus bantuan bokong buat ngesot, hahaha. Rencana awal buat ke danau Segara Anak dan turun lewat Torean, batal sudah karena logistik yang kurang dan beberapa alasan yang lain. Tapi ya sudahlah, bagiku tujuan utama adalah sampai ke puncak Rinjani dan tak mempermasalahkan turun lewat mana saja. Dengan sedikit terpaksa kami turun lewat jalur Sembalun lagi, karena jalur yang paling cepat dari beberapa jalur lainnya. Semalam lagi kami mendirikan tenda di pos 2, dan pagi hari langsung bergerak menuju base camp. Puas sekaligus lelah yang tak terhindarkan dan setengah tak percaya saya sudah mencapai puncak Rinjani yang terlihat dari kejauhan.

Saat Turun Menuju Base Camp


Dewi Anajani, oh Rinajani