Jumat, 28 April 2017

Rinjani Yang Penuh Tantangan

Tiket pesawat yang baru terbeli sehari sebelum keberangkatan sedikit mengusik keraguan dalam benak. Keesokan hari nya pun saat di udara keraguan itu masih sering muncul di benak. Keraguan apakah akan bisa mendaki puncak tertinggi di pulau Lombok, keraguan apakah badan ini masih sanggup memikul ransel di pundak, maklum sudah 1,5 tahun lamanya tidak mendaki dan perut sudah membulat. Ingin rasanya membatalkan perjalanan itu tapi saya lebih tidak sanggup untuk membatalkan salah satu impian saya sedari dulu. Ahhh coba aja dulu, kalo gak kuat nantinya gak usah muncak, desirku dalam batin. Kami bertujuh berkumpul di Lombok International Airport saat hari sudah gelap. Mobil kijang biru yang kami sewa membawa kami selama 3 jam ke kaki gunung Rinjani di Sembalun. Di situ kami menginap di tempat salah satu porter yang akan menemani pendakian. 

Puncak Rinjani di Balik Base Camp

Full Team

Udara pagi yang dingin menembus selimut dan menusuk hingga ke kulit yang membuat saya harus terbangun. Ternyata dibalik rumah tempat kami menginap berdiri tegak sang Rinjani, hal ini baru terlihat jelas saat kami sadar pagi itu.
Pendakian kami mulai pukul 9 pagi, dengan menunjukkan tiket masuk sebesar 40 rb per orang kami dipersilahkan lewat oleh penjaga pos masuk. Debar jantung bertambah cepat dan seakan tak percaya saya sudah memulai perjalanan itu. Di bulan April, Rinjani disuguhkan warna yang hijau cerah, rumput dan ilalang pun masih subur-subur nya.



Trek di awal perjalanan masih banyak tanah landai dan hampir 4 jam lamanya kami tiba di pos 1. Dua buah gazebo ada di sana dan sebuah toilet yang bentuknya sudah tidak karuan lagi, uucchhh. Di pos itu saya melihat sekelompok turis dengan bahasa planet (menurut saya bahasa mandarin) sedang asik nge-rujak, andai saja bisa ikut nimbrung, hahaha. Mereka pun terlihat tak menggendong tas keril seperti kami, tapi penopang alias porter nya banyak terlihat. Tidak seperti kami hanya menyewa 2 porter, itu pun satu porter khusus membawa barang nya om Hendra, sesepuh di team kami. Pos 2 berjarak 1,4 km dari pos 1 dan setelah 1 jam kami tiba disana. Di pos 2 lagi-lagi terdapat toilet yang gak berbentuk dan miris nya lagi, plank dilarang buang sampah malah banyak sampahnya. Melanjutkan perjalanan ke pos 3, harus berjalan 1,5 jam lagi dan sudah mulai trek terjal meskipun belum banyak. Nah, di pos 3 lah kami bermalam.

Pos I
Pos II, Buanglah Sampah Pada tempatnya!!



Keseruan di malam hari itu adalah bertemu bintang-bintang sambil dihangatkan oleh api unggun hasil sang porter kami, Bang Anto. Nah selain itu, kalo lagi ngumpul pasti ngobrol ngawur ngidul, mulai dari pengalaman masing-masing, petuah sesepuh tentang menaklukan sang pujaan hati sampai ceng-cengan pasti tak terelakan lagi.
Esok paginya kami beranjak dari pos 3 jam setengah sembilan. Awal trek dari pos 3 itu sudah terjal, lutut sangat diandalkan. Pemandangannya, keren abis kyak pelem-pelem kolosal gtu deh semacam The Lord of The Ring. Di pertengahan jalan menuju Plawangan/Crater Rim cuma ada pos bayangan, sebelum bukit penyesalan. Kata seorang penjual minuman disana, kenapa namanya di sebut bukit penyesalan itu karena jarak Plawangan masih jauh dan kalo mau turun ke base camp pun lebih jauh lagi. Liat porter yang naik dengan memikul bawaan yang super banyak membuat heran, karena mereka sangat kuat plus lincah. Rata-rata para porter hanya memakai alas kaki bermerek swallow, ada juga yg tanpa alas kaki, uueedann. Kalo jumpa porter yang turun nih, ada yang setengah berlari, padahal mah trek nya curam (bagi saya). Nah ketemu juga nih bule-bule yang hendak turun baik bule asia maupun eropa. Baru kali ini saya jumpa banyak bule yang mau mendaki. Ini bukti bahwa Rinjani sudah terkenal di Asia dan di belahan benua lain.




Tiba di Plawangan jam 2 siang, di sana sudah menunggu om Hedra dari satu setengah jam yang lalu bersama Okki. Satu jam kemudian tiba Arbi, Keke dan Rudi, lalu disusul Anwar saat tenda sudah berdiri. Beruntunglah kami sudah dapat spot tenda karna beberapa jam setelahnya pengunjung bertambah banyak, ramai sekali seperti di pasar. Malam di Plawangan lebih dingin dari pada di pos 3, sedari jam 8 malam saya sudah masuk tenda dan berselimut sleeping bag karna menggigil. Bagusnya saya bersama om Hendra dan Arbi satu tenda, menjalin kehangatan dalam tenda yang sempit, tersusun seperti ikan pepes.


Para Porter Yang Hanya Memakai Sendal

Salah Satu Keindahan Naik Gunung

Plawangan

Terdengar suara Okki memanggil untuk bangun, saat saya liat jam masih pukul 12 malam, kawan setenda saya pun tak ada yang bergerak bangun maka saya pun tak beranjak. Sejam kemudian, bang Anto memanggil-manggil dan tak berhenti sampai kami semua terbangun. Berharapnya sih waktu itu tak ada suara bang Anto yang gaduh. Bersiap tuk summit, minus Anwar yang memutuskan tidak naik karna masuk angin dan bang Rudi yang sudah pernah ke puncak Rinjani, dia malah ngomporin kami untuk lanjut tidur saja di tenda. Oh ya para porter pun tak ikut summit, karna ada biaya tambahan lagi, mahal bro.

Matahari Hampir Terbit

Puncak Masih Jauh, Matahari Udah Nongol

Leter S
Perjuangan Mencapai Puncak
Minta Balik Terus, Padahal Puncak Udah Di Depan Mata

Langsung saja trek terjal kami hadapi disertai kerikil. Dalam kegelapan satu-persatu para pendaki melalui rintangan itu, lampu di kepala mereka tampak berkelip di kejauhan. Saya, Keke, dan Arbi sedikit berjalan banyak berhentinya, tak seperti 2 kawan lainnya om Hendra dan Okki yang melaju cepat. Terkadang kami merebahkan badan dan menghadap bintang-bintang, bersyukur juga bisa liat bintang jatuh. Sampai tiba waktunya matahari terbit, kami bertiga belum sampai jua di puncak. Arbi pun melesat meninggalkan saya dan Keke. Perjuangan yang paling berat ada di leter S menuju puncak, yang ada hanya kerikil, kerikil, dan kerikil. Sampai-sampai Keke selalu ngajak balik arah, "Nak balik", pintanya. "Itu puncak sudah de depan mata", sahutku, bagaimana bisa saya balik tanpa menggapai puncak itu terlebih dahulu. Padahal dalam batin pun rasanya sudah tidak sanggup lagi, jikalau Keke benar-benar balik arah berjalan turun pasti saya juga ikut turun. Okki disusul om Hendra beberapa menit kemudian malah sudah mau turun, maklum mereka berdua sudah sampai di puncak lebih awal. Malu dong sama om Hendra yang sudah berusia kepala 4 bisa sampai puncak, sedangkan saya dan Keke yang belum sampai puncak bahkan berpikiran nak balik saja. Semangat terbakar lagi sesudah bertemu om Hendra. Maju 2 langkah turun selangkah, begitulah perjuangannya. Batinku berkata , hidup begini juga kali ya saat mau meraih impian susahnya minta ampun, butuh perjuangan ekstra.

Kawah dan Danau Segara Anak
Akhirnya Sampai Juga Di Sini
Suasana di Puncak

Ketutupan Kabut
Arbi, Keke, dan Saya (kanan-Kiri)

Baru jam 9 siang saya dan Keke sampai di puncak, rasanya sungguh luar biasa berada di puncak Rinjani, tak terdeskripsikan. Arbi belum beranjak turun dari puncak saat kami tiba disana. Puas mengabadikan moment di puncak Rinjani, kami bertiga meluncur turun. Menurut info dari bang Anto sih rata-rata summit cuma 5 jam, tapi saya malah lebih lama 2 jam. Ya, tak seperti saat naik, turunnya gampang banget asalkan tahan debu dan tidak terpeleset. Nah kalo turun cuma butuh waktu 2,5 jam, kalo si Keke plus bantuan bokong buat ngesot, hahaha. Rencana awal buat ke danau Segara Anak dan turun lewat Torean, batal sudah karena logistik yang kurang dan beberapa alasan yang lain. Tapi ya sudahlah, bagiku tujuan utama adalah sampai ke puncak Rinjani dan tak mempermasalahkan turun lewat mana saja. Dengan sedikit terpaksa kami turun lewat jalur Sembalun lagi, karena jalur yang paling cepat dari beberapa jalur lainnya. Semalam lagi kami mendirikan tenda di pos 2, dan pagi hari langsung bergerak menuju base camp. Puas sekaligus lelah yang tak terhindarkan dan setengah tak percaya saya sudah mencapai puncak Rinjani yang terlihat dari kejauhan.

Saat Turun Menuju Base Camp


Dewi Anajani, oh Rinajani