Sabtu, 20 Februari 2016

Nyangkut di Palembang

      Kota itu tampak masih sepi dan belum ada kegiatan masyarakat, gelap dan sunyi. Tapi saya sudah tiba di kota itu jam setengah 4 pagi dan harus rela menunggu di salah satu toko mart yang buka 24 jam. Kurang lebih 7 jam pejalanan menggunakan travel dari Lubuk Linggau hingga bisa tiba di Kota Palembang. Pelatihan mendadak dari kantor yang harus saya jalani dengan persiapan yang minimalis membuat saya buta akan kota itu. 
      Untungnya dari pengalaman traveling saya sebelumnya telah mengajarkan sesuatu yang berharga, yaitu ketahanan tubuh baik fisik dan pikiran. Meskipun letih saya mencoba menikmati apa yang disajikan kota Palembang, apalagi ini pertama kalinya saya bisa ke sana. 
  Duduk menengguk minuman dingin, ada seorang pria paruh baya menghampiri saya dan bertanya hendak kemana. Saya menjawab akan ada pelatihan tapi baru dimulai pada siang hari. Ternyata dia adalah seorang supir travel yang sedang menuggu jadwal berangkat. Pak Jaya namanya, dari beliau saya diberitahu bagaimana saya bisa ke jembatan Ampera dari tempat kami mengobrol itu. Sayang rasanya jika saya tidak menghampiri salah satu ikon Kota Palembang yang sudah termasyur sedari dulu, sejak saya masih kecil.

Jembatan Ampera di Pagi Hari

    Setelah pagi menyongsong dan angkot mulai berkeliaran, saya bergegas menuju Jembatan Ampera. Berbekal instruksi dari Pak Jaya, saya harus menaiki angkot berwana merah dan hanya 15 menit perjalanan sudah tiba di bawah jembatan merah itu. Melihat langsung dan dari dekat jembatan itu, menyusuri sepanjang jembatan dan menyisir kehidupannya menjadi bagian perjalan saya saat itu. Jika dilihat dari atas jembatan, lebarnya sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian, hulu dan hilir. Aktifitas perahu yang besar dan kecil lalu lalang di sepanjang sungai itu. Ada perahu ikan, perahu pembawa karet, perahu penumpang, bahkan ada perahu pengangkut batu bara. Sesaat saya juga mengamati masyarakat yang silih berganti menaiki jembatan dari hulu ke hilir dan sebaliknya. 

Sungai Musi, Membelah Kota Palembang

Kapal Pengangkut Batu Bara

    Menyusur pinggiran sungai Musi, saya melihat beberapa masyarakat menggunakan air yang berlimpah itu untuk mandi dan mencuci, ada juga yang sedang asik memancing. Bahkan ada satu rumah apung yang saya temui di sungai itu. Sepertinya kota Palembang tidak akan habis sumber airnya bahkan di musim kemarau sekalipun.

Porter Karet
Asiknya Mancing di Pinggir Sungai Musi
Rumah Apug Di Pinggir Sungai Musi

      Di bagian hilir saya sempat berkeliling di pasar yang masih meninggalkan bangunan masa penjajahan Belanda "Pasar Ilir 16". Disana banyak ruko yang menjajakan berbagai macam kebutuhan, tetapi lebih banyak ruko penjual pakaian. Tak terasa hari sudah siang dan saya harus menuju penginapan untuk mengkinfirmasi kehadiran pelatihan.

Pasar 16 Ilir
Ruko-ruko di Pasar Ilir 16

     Malam harinya saya kembali melewati jembatan Ampera, terlihat lebih indah dan manis karena dihiasi beragam lampu warna warni. Tak kalah menariknya adalah tempat kuliner malam yang berada dipinggir sungai Musi dan menjadi tempat nongkrong kaula muda.

Jembatan Ampera di Malam Hari
Hiasan Lampu Pada Jembatan Ampera

     Salah satu kuliner yang patut dicoba adalah Mie Celor, mie tebal dengan telor yang dicelup ke dalam kuah mie yang bersantan. Tidak seperti makanan kuliner Pempek yang sudah terkenal seantereo Indonesia, Mie Celor hanya bisa ditemukan di Kota Palembang sehingga patut untuk dicoba.

Mie Celor, Hanya Ada di Kota Palembang