Kamis, 10 September 2015

Garut lagi - Gunung Guntur

Gerimis sore itu menimbulkan khawatir akan adanya hujan lebat, tapi selang seperempat jam rintik dari langit itupun tak ada lagi. Segera saja saya mengemas pakaian dan peralatan yang dibungkus ke dalam tas gunung. Tak butuh waktu lama menuju meeting point dari tempat saya tinggal, hanya butuh tiga puluh menit saya menggunakan angkutan kota. Sudah ada Amanda -wanita tomboy tapi tercantik dalam grup- yang sampai terlebih dahulu. Langsung saja saya sapa dan bertukar kabar. Tak lama Pandu muncul dan memperkenalkan dirinya ke saya, kami baru kali itu bertemu. Ada dua orang lagi yang kami tunggu, Hardi dan adiknya- Raka yang muncul satu persatu.
Kursi di dalam bus jurusan Garut menjadi sandaran dan tempat memejamkan mata kami selama 4 jam. Sebuah mini market dekat pom bensin menjadi patokan kami turun. Sebuah mobil pick up hitam entah sedari kapan berjaga-jaga dan sedetik kemudian sang supir menawarkan jasa antar ke kaki Gunung Guntur. "Ongkos perkelompok dihitung perkepala sepuluh ribu tapi minimal sepuluh orang" tawaran dari sang supir. Kami yang hanya berlima menyatu dengan grup lain yang berjumlah empat orang. Total sembilan orang dan menambah ongkos seribu per orang dari perjanjian awal. Tidak lebih dari dua puluh menit kami diantar sang supir hingga tempat registrasi pendakian. Kokok ayam belum ada sekalipun yang terdengar dan begitupun warga disekitar kaki gunung belum ada yang terbangun. Mau tidak mau kami menunggu hingga matahari terbit untuk meminta ijin pendakian pada sesepuh di daerah itu. Abah, begitulah beliau ingin dipanggil dan kepada dia kami meminta ijin melakukan pendakian Gunung Guntur dan hanya jaminan KTP tanpa ada pungutan biaya.

Perangkat Tambang Batu dan Pasir

Awal pendakian terpampang alat berat dan perangkat miniatur tambang, sepertinya pasir dan batu menjadi bahan tambang warga sekitar, truck pun ada yang lalu lalang mengangkut hasil gali-an. Pos di Gunung Guntur ada 3, dan dua setengah jam berjalan kami sampai di pos 3 itu. Biasanya sebagian pendaki menginap di pos 3 karna sumber air sudah dekat dan lebih aman dari tangan-tangan jail yang suka merobek tenda dan mengangkut barang-barang para pendaki. Tapi kami memutuskan tuk lanjut ke puncak 1 dan mendirikan tenda disana. Inilah awal perjalanan yang berat, gemes dan pedes.

Pos III

Berat karena jalur nya licin karna kerikil, gemes karna ketinggiannya terbilang pendek (2249 mdpl), dan pedes karna hanya ada tanjakan tajam tanpa ada bonus. Benar saja apa yang dikatakan Abah sebelumnya, bahwa "gunung ini kecil-kecil cabe rawit", barulah saya sendiri memahami pesannya itu setelah menuju puncak 1. Sering kali pendaki teriak "awas batu" dan kami mengulang teriakan itu, seperti di pelm 5 cm saat adegan naik ke puncak Semeru. Otot kaki dan paha saya terasa kaku sehingga seringkali saya berjalan seperti spiderman alias merangkak, mengaktifkan kedua tangan mendaki tanjakan terjal itu. Wiihh, tak kurang dari 3 jam kami bersusah payah mencapai puncak 1 gunung itu, lebih lama daripada melewati ketiga pos sebelumnya.

Trek Menuju Puncak 1

Ternyata setelah sampai dipuncak 1, terlihat kawah di sebelah selatan dan puncak 2 kearah barat. Tenda segera kami dirikan dan santapan perut disiapkan Amanda -untungnya nona yang satu ini bisa masak-.
Malam hari kabut turun dan menghalangi pemandangan kami tapi begitu kabut hilang pertunjukkan gemerlap bintang tak bisa ditutupi lagi, bulan pun saat itu tak mau kalah menunjukkan keistimewaannya (saat itu bulan terlihat bulat penuh dan berwarna merah). Lagi asik-asik nikmatin pesona malam, ada suara dari semak-semak dan seketika itu juga muncul babi hutan. Amanda yang melihat penampakkannya langsung secepat kilat masuk kedalam tenda sambil teriak khas wanita alaay, saya hanya cekikikan melihat aksinya, hihihii. Padahal sebelumnya Abah sudah mengingatkan bahwa masih banyak babi hutan berkeliaran dan hanya perlu senter untuk mengusirnya, karna babi hutannya sudah jinak.
Mentari pagi belum juga muncul tapi keempat kawan saya sudah siap-siap menyaksikan sinarnya, saya mah masih asik meringkuk dalam tenda dan terpaksa bangun karna terikkan si Amanda. Berdiri di atas lautan awan sambil sinar orange menerpa wajah dan berimajinasi seakan-akan berenang di segumpalan awan. Entah karena efek nonton doraemaon dari kecil, rasanya mau pinjem baling-baling bambu buat bisa bermain di awan, hehehe.

Sunrise Pagi Itu

Nah, saat turun Gunung Guntur pun ga kalah pedesnya, turunan tajam plus ga ada pegangan. Jalur turun banyak digenangi batu kerikil, bahkan bukan banyak lagi tapi genangan kerikil. Saya yang hanya memakai sendal gunung, hanya bisa menahan tajamnya kerikil yang menyelinap ke kaki. Jangankan pakai sendal, pendaki yang pakai sepatu saja beberapa kali sibuk menyingkirkan kerikil yang masuk ke sela sapatu. Rasanya turun saat itu seperti main ski di mall TA, meluncur dengan kaki sambil nahan berat badan, jika tidak bisa menyeimbangkan berat badan alhasil bokong akan mendarat ke batu kerikil.

Kota Garut, Dilihat Dari Atas

Personil Lengkap
Bersihin Sepatu Dari Kerikil Yang Membandel

Terkadang jika turun, hasrat mau buru-buru sampai memang bertambah, mungkin itu yang dirasakan Amanda. Di saat itu juga, kecepatan langkahnya terhenti karna terjatuh bahkan sampai dua kali. Masih cukup untung karna tidak harus gotong dia, wanita yang satu ini memang tangguh.
Sesampainya kami di tempat Abah, segera saja membersihkan badan yang berdebu dan bau keringat. Sudah ada mobil APV yang nangkring dan berhasil kami nego 12 rebu per orang tuk mengantarkan kami ke terminal Garut.

See ya n salam adventure.


NB : 
- Sebaiknya menggunakan sepatu jika tidak ingin kerikil menyelinap di sela-sela kaki
- Jangan lupa bawa masker, karna debu nya banyak bingit apalagi jika musim kemarau
- Mohon jangan pakai sabun atau sampoo di sumber air, kasian kan pendaki lain yang menggunakan sumber air buat minum
- Bawa sampah turun ya guys, jangan ditinggalin diatas atau dibuang sembarangan di sepanjang trek
- Jangan mengambil vegetasi, jika mau ambil saja gambar sebanyak-sebanyaknya